Pendahuluan
Kematian
adalah sebuah fenomena yang alami bagi manusia, tapi tidak dengan kebangkitan.
Hampir setiap hari kita melihat kematian sebagai sebuah wacana realitas dari
kehidupan, bahwa kehidupan diakhiri dengan sesuatu yang namanya kematian.
Bagaimana dengan kebangkitan? Hal itu adalah biasa, biasa bukan karena itu
terjadi secara massif dalam hidup manusia, tapi karena sering diperbincangkan
terutama dalam kekristenan. Bahkan menjadi sebuah pengharapan yang hampir pasti
akan menihilkan kekristenan jika hal itu diboikot.
Memaknai
kematian dan kebangkitan berarti memahami hal yang fundamental dalam
kekristenan. Sebagai salah seorang peletak dasar teologi Kristen melalui
tulisan-tulisannya, maka kita akan membahas teologi Paulus tentang kematian dan
kebangkitan.
Kematian
Dalam
penggunaan Alkitabiah, kematian memiliki empat makna utama, yaitu:
- Kematian fisik, umumnya menunjukkan perhentian fungsi tubuh yang tidak dapat dicegah (2 Sam. 14:14; Rm. 6:23; Ibr. 9:27) tetapi adakalanya pelemahan kuasa fisik secara berangsur-angsur (2 Kor. 4:12, 16).
- Kematian spiritual, menggambarkan pengasingan alami manusia dari Allah, kurang mau mendengarkan Allah, atau permusuhan dengan Allah, karena dosa (Kej. 2:17; Mat. 8:22; Yoh. 5:24-25; 8:21, 24; Rm. 6:23; Ef. 2:1; Yak. 5:20; Yud. 12; Why. 3:1).
- ‘Kematian kedua’, menunjukkan pemisahan secara permanen dari Allah sebagai nasib bagi orang yang tidak benar (Mat. 10:28; Why. 2:11; 20:6, 14-15; 21:8).
- Mati kepada dosa, melibatkan penyingkiran semua hubungan dengan dosa yang dihasilkan dari hidup pada Allah melalui kematian dan kebangkitan dengan Kristus (Rm. 6:4, 6, 11).
Melalui
ketetapan Allah, kematian fisik dan spiritual adalah konsekuensi dan akhir dari
dosa (Yeh. 18:4, 20; Rm. 5:12; 6:23; 7:13; Ef. 2:1, 5) dan merupakan hal yang
umum bagi manusia karena semua telah berdosa (Yos. 23:14; 1 Raj. 2:2; Pkh. 9:5;
Rm. 5:12; Ibr. 9:27). Laki-laki dan perempuan diciptakan tidak unable to die tetapi able to die, walaupun setelah kejatuhan
kematian menjadi sebuah keadaan biologis yang universal. Allah tidak senang akan kematian (bahkan
kematian orang jahat, Yeh. 18:23).[1]
Konsep Kematian dalam Perjanjian Lama
Dalam
sebagian besar PL, kematian memimpin kepada sebuah bayangan, keadaan
insubstansial dalam dunia bawah, yang disebut sheol/syeol. Di sana, semua
diturunkan pada kondisi tidak beraktivitas, dengan tidak ada prospek kemajuan
atau pelarian (Ay. 3:17-20; 7:9; 17:16). Secara khusus, penghuni dunia bawah
diputuskan dari Tuhan dan tidak dapat lagi mempersembahkan pujian atau
permohonan: “dalam kematian tidak ada kenangan tentang Engkau; dalam Sheol
siapa yang akan memujimu?” (Mzm. 6:6 (penerjemah) (bnd. Mzm. 88:5). Sedikit
teks mengimplikasikan bahwa dunia bawah tidak tersembunyi dari Tuhan (Ay. 26:6;
Mzm. 139:8). Kematian digambarkan bervariasi- contohnya, sebagai seorang musuh
yang menjerat mangsanya (Mzm. 18:6; 116:3) dan sebuah pelahap manusia yang
tidak pernah puas (Ams. 1:20; 27:20).[2]
Dalam
bahasa Ibrani kata yang digunakan untuk mengacu pada kematian adalah mawet, muncul 160 kali yang menyangkut
keenam hal ini:
- Kematian secara umum dan/atau sebagai yang berlawanan dengan kehidupan. PL mempertentangkan kehidupan dan kematian sebagai satu-satunya opsi utama (Ul. 30:19; 2 Sam. 15:21; Ams. 18:21; Yer. 21:8), sering kali membicarakan eksistensi manusia sebagai sebuah jalan yang memimpin pada sesuatu atau yang lain (Ams.14:12; 16:25; Yer. 21:8). Setiap orang memiliki “hari kematiannya” (Pkh. 7:1; 8:8), karena itu tidak terelakkan untuk semua orang (Bil. 16:19; Yeh. 18:32), untuk orang benar (Bil. 23:10); orang jahat (Yeh. 18:23; 28:10; 33:11), dan orang bodoh juga (2 Sam. 3:33).
- Kematian sebagai ganjaran untuk orang jahat. Karena kelakuan yang berdosa, orang layak untuk mati (di bawah hukuman kematian; Ul. 19:6; 21:22; Yer. 26:11, 16). Beberapa dosa secara khusus pantas untuk kematian (Ul. 22:26), menyatakan bahwa yang lain tidak demikian, paling sedikit secara tiba-tiba. Contoh: istilah ben mawet, 'is mawet tidak pernah diberikan pada orang benar.
- Sikap terhadap kematian. Kematian adalah misterius dan menakutkan, secara eufemistis (melembutkan) disebut tidur (Mzm. 13:3(4)). Mereka yang membenci Allah dikatakan mencintai kematian (Ams. 8:36). Prospek tentang kematian membangkitkan perasaan teror (Mzm. 55:4(5)), panik (1 Sam. 5:11), dan kebencian (1 Sam. 15:32; Pkh. 7:26).
- Kematian sebagai sebuah tempat. Tempat orang mati dinyatakan sebagai kematian, yang paralel dengan syeol dan abaddon. Itu adalah tempat yang berdebu (Mzm. 22:15(16)), satu tempat dengan banyak ruang (Ams. 7:27).
- Kematian sebagai personifikasi. Itu sering dipersonifikasi dan dilihat sebagai suatu musuh kemanusiaan yang kuat (Kid. 8:6). Dia mampu membunuh (Yer. 18:21), baik oleh dirinya mapun oleh penyakit parah (Ay. 18:13). Dia dapat memanjat melalui jendela dalam pencarian terhadap kehidupan yang tidak menaruh kasihan (Yer. 9:20(21)) dan dia meliputi korbannya seperti gelombang laut (2 Sam.22:5).
- Kemenangan atas kematian. Manusia seharusnya mati, tetapi ada harapan bahwa mereka dapat ditebus (g’l) dari kematian (Hos. 13:14). Mereka dapat ditebus bahkan dari ancaman atau prospeknya (Ay.5:20). Secara utama dan ironis kematian sendiri akan ditelan sebagai sebuah tanda dari kemahakuasaan Allah (Yes. 25:8).
Sebagai
sebuah konsep dalam PL, kematian secara keseluruhan dipandang sebagai istilah
yang negatif atau paling sedikit terhentinya kehidupan. Dia misterius,
persangkaan, dipenuhi dengan ketidakpastian, dan tabiat yang tidak terelakkan
dan universal. Itu adalah perluasan logis dari kelemahan dan penyakit, penyakit
akhir (Mzm. 88:11(12); Yes. 38:18). Secara fenomenologis, kematian manusia
adalah seperti kematian binatang (Mzm. 104:29). Nafas kehidupan (atau roh)
berakhir dan kembali kepada Pencipta sedangkan tubuh ditaruh ke tanah untuk
membusuk dan kembali mendebu (Kej.35:18-20). Sekaligus, ada harapan bahwa
kehidupan tidak berakhir dengan kematian atau bahkan melebihi kematian, tetapi
bahwa itu memberi jalan untuk pembaharuan hidup, kepada kekekalan (Mzm.
16:10-11; bnd. 49:15(16)), dan bahkan ke kebangkitan (Dan. 12:2).[3]
Konsep Kematian dalam Perjanjian Baru
Istilah-istilah yang Digunakan
Dalam PB sebagai literatur
klasik, terdapat beragam kata yang digunakan untuk menggambarkan kematian dan
mati- sebagai kejadian-kejadian yang mengingatkan manusia bahwa kehidupan
adalah sesuatu yang berakhir yang tidak dapat dikendalikan. Selain kata qanatoς thanatos (kematian), ada istilah
lain yang secara asli memiliki makna yang cukup berbeda. Tidur (upnoς hypnos) yang
dini dipakai sebagai sebuah eufemisme untuk kematian dan mati bahkan digunakan
lebih banyak dalam zaman Kristen. Istilah lain yang berhubungan adalah kaqeudw katheudo (tidur),
dan koimomai
koimaomai (tertidur). Yang menyatakan tidak bernyawa, sebuah
hal mayat atau benda tak bernyawa, yaitu nekroς nekros (yang
mati). teleutaw
teleutao berarti berakhir, selesai
dan karena itu mati, apokteinw apokteino (membunuh)
mengindikasikan sebuah pemadaman kehidupan secara keras.[4]
Pemakaian Istilah dan Latar Belakang Konteks
Sebagaimana
yang disebutkan di atas, istilah-istilah yang digunakan dalam PB dan
pemakaiannya adalah sebagai berikut:
1.
apokteinw (apokteino) dan teleutaw (teleutao)
apokteino (membunuh), ditemukan
150 kali dalam LXX, yang mengacu pada kata Ibrani harag (membunuh) dan mut
(mati). Itu dapat mengacu pada pembunuhan (Kej. 4:8 yaitu Kain), eksekusi hukum
(Kel. 32:27), atau membawa massa untuk membunuh dalam perang suci (Bil. 31:7; 1
Sam. 15:3). Juga terdapat dalam nubuat profetis tentang penghakiman (Amos 4:10;
9:1; Yeh. 23:10).
Dalam
PB terdapat 74 kali, khususnya sering di keempat Injil dan Wahyu (15 kali);
hanya 5 kali dalam surat Paulus. Dalam ayat-ayat ini kata kerja ini hampir
selalu mengacu pada pembunuhan utusan Allah secara keras, baik dalam narasi
langsung (Mat. 14:5; 1 Tes 2:15), perumpamaan (Mrk. 12:5), atau profetis
mengacu pada para murid (Mat. 24:90).
teleutao terdapat 70 kali dalam LXX,
digunakan untuk mengacu pada mut (Ibr.),
mati, hampir selalu dalam makna berakhir, berakhirnya kehidupan seseorang.
Dalam
PB teleutao terdapat 11 kali, 3 di
antaranya dikutip dari PL (Mat.15:4; Mrk. 7:10; 9:48). Kata kerja ini mengacu
pada orang yang mati yang kemudian dibangkitkan oleh Yesus (Mat. 9:8; Yoh.
11:39). Juga digunakan untuk kematian Herodes (Mat.2:19), dll.
2.
qanatoς (thanatos)
Kata yang dominan untuk mati
dalam PB adalah apothnesko (thanatos).
Dalam dunia Helenistik, thanatos (kematian),
thanatoo (membunuh), thnesko (mati) dan apethnesko (mati) digunakan secara metaforis tentang kematian
intelektual dan kematian spiritual.
Bagi
orang Yunani, kematian berarti akhir dari aktivitas hidup, penutupan jangka
waktu, pengrusakan eksistensi, bahkan jika shade
(jiwa) menemukan sebuah tempat dalam alam kematian. Kematian adalah takdir umum
manusia. Realisasi kematian yang tidak dapat dielakkan menemukan konsekuensinya
dalam pencarian untuk menikmati kehidupan secara penuh.[5]
Ada ajakan untuk tidak melewatkan kesenangan pada masa hidup.
Bagi
mereka juga, kematian adalah sebuah bagian hidup sebagai sebuah tindakan dari prestasi
manusia. Penting untuk mati dengan mulia, berjuang dengan semangat tanpa takut
mati. Disebut prestasi jika nama orang mati dihormati oleh yang hidup, terutama
jika dia mati atas nama kota (polis).
Plato memandang orang demikian mampu berjumpa dengan kematian, mengalihkan
kematian dalam sebuah prestasi manusia. Kaum Stoiks memandang serupa, manusia
yang mengatasi kematian dan ketakutannya adalah orang yang benar-benar mati,
kesiapan bebas untuk mati setelah hidup yang bernilai mengalihkan kematian ke
dalam prestasi manusia.
Terdapat
kepercayaan tentang imortalitas (kekekalan) jiwa, terutama oleh mistisisme
Orphis dan Pythagorean. Dalam kematian jiwa dibebaskan dari tubuh, yang kekal
dari yang tidak kekal, kebahagiaan dari penderitaan. Pandangan ini pada masa
Helenistik menyebar luas. Bagi Stoaisme jiwa individual bergabung dengan jiwa
universal ilahi. Gnostisisme menekankan dualisme kosmis yang berlawanan: jiwa
dan badan. Pembebasan jiwa dari tubuh adalah kemenangan atas kematian.
Dengan
kondisi demikian pada masa Helenistik, secara kuat gagasan dualistik mulai
menemukan jalan mereka pada Yudaisme dengan perluasan yang lebih besar atau
lebih kecil. Jiwa menjadi dianggap tidak kekal (Keb.3:4 4:1; 15:3), eksistensi
tidak bertubuh mulai secara tiba-tiba setelah kematian (4 Mak. 16:13; 17:12).
Para martir Yahudi juga melihat kematian mereka sebuah pekerjaan heroik, mulia
serta bernilai (4 Mak. 10:1; 2 Mak. 6:31). Philo menggambarkan tubuh sebagai
sebuah “teman yang jahat dan mati”, kematian adalah tindakan pembebasan.
Yosephus mendorong orang Yahudi untk memilih kematian daripada menyerah pada
orang Roma. Jika mustahil hidup dengan kemuliaan, seseorang harus mati dengan
mati.
Dalam
PB thanatos (kematian) ditemukan
kira-kira 120 kali: di kitab Injil sebagian besar merujuk pada kematian Yesus;
dalam Paulus terutama tentang kematian manusia. Pandangan PB tentang kematian
secara langsung berkesinambungan dengan pandangan Yahudi kuno.[6]
Manusia hidup dalam bayang-bayang kematian (Mat. 4:16; Yes. 9:1). Manusia harus
hidup dalam ketakutan terhadap kematian (Ibr. 2:15).[7]
Setan dianggap sebagai yang memiliki kuasa atas kematian (Ibr. 2:14), walaupun
tentu saja Allah sendiri yang dapat menghancurkan tubuh dan jiwa dalam neraka
(Mat. 10:28; Why. 2:23). Dalam Injil keempat, kematian dan kehidupan juga
realitas eksistensi sekarang, tergantung pada bagaimana manusia merespons Jesus
sebagai krisis ilahi dari eksistensinya (Yoh. 5:24; 8:51; 11:25). Dalam PB,
kematian tidak dianggap sebagai proses alami, tetapi sebagai sebuah kejadian
historis, yang secara jelas menandai kondisi berdosa manusia. Dalam pengertian
historis kematian dilihat sebagai sebuah kuasa yang memperbudakk manusia dalam
hidup (Ibr. 2:15).[8]
3. kaqeudw (katheudo), koimomai (kaimaomai) dan upnoς
hypnos
(tidur)
katheudo artinya tidur; kaimaomai artinya berbaring, tenggelam
dalam tidur, bisa berarti tidur alami atau bagi yang akan mati; hypnos menyatakan tidur alami, membuatny
lupa beban hari, tidak aktif dan tubuh kelihatan tidak bernyawa. Dari ketiga
kata ini hanya kaimaomai yang sering
digunakan berkaitan dengan kematian dalam PB, yaitu sebanyak 15 kali. Dalam 1
Kor. 7:39; 15:6, 51 kaimaomai
digunakan sebagai sebua hal yang ekuivalen pasti dengan mati (bnd. Kis. 7:60;
13:36; 2 Pet. 3:4). Dalam Yoh. 11:11-14, juga digunakan dalam kematian Lazarus
yang Yesus sebut sebagai tidur tapi salah dipahami oleh para murid. Sementara
kata katheudo hanya digunakan sekali
untuk mengacu pada kematian yaitu dalam 1 Tes. 5:10.[9]
4.
nekroς (nekros)
nekros (Yunani klasik) awalnya
hanya digunakan untuk tubuh manusia atau hewan yang mati, artinya tidak
berhubungan dengan jiwa.
Kaum
Stoa memahaminya demikian: nekros
tidak dikontrol oleh psyche-jiwa atau
nous-akal, atau roh; nekros adalah bagian fisik manusia; nekros tidak sesuai dengan standar
penghakiman seseorang, tetapi ditentukan oleh nous. Tidak ada kecuali kesadaran tentang hakiki yang paling tinggi
yaitu nous yang layak digambarkan
sebagai yang hidup.
Dalam
LXX nekros ditemukan 60 kali yang
disamakan dengan met (Ibr. Seorang
yang mati) yang tidak digabungkan dengan psyche
(jiwa). Philo sendiri mengadopsi pandangan Stoa.
Dalam
PB nekros ditemukan 130 kali yang
artinya mati (kata sifat) dan orang mati (kata benda). Penggunaan kata ini
dalam PB berbeda dengan penggunaan Yunani dan PL. Dalam PB status kematian
tidak lagi sebuah status final bagi manusia. Itu harus dilihat dalam terang
kebangkitan Yesus. Kematian telah dikalahkan oleh Yesus.[10]
Konsep Teologi Paulus Tentang Kematian
Kematian
thanatos (juga kata apothnesko, thanatoo, apokteino, anaireo) bisa mengacu pada penghentian
kehidupan duniawi dan fisik manusia. Lebih sering hal itu menunjukkan kondisi
rohani-fisik manusia “di dalam Adam”, yang datang melalui dosa Adam (Rm.
5:12-21; 1 Kor. 15:21-22). Kematian, daging, dan dosa dapat Paulus gunakan
dalam hubungan yang dekat, khususnya dalam Roma 5-7, di mana terlihat dalam
narasi Paulus tentang hidup dalam Adam dan hidup dalam Kristus. Kematian dan
dosa berkarya bersama, dengan kematian datang melalui dosa (Rm. 5:12). Dengan
kedatangan Hukum Taurat, dosa meningkat (Rm. 5:20), menutup kehidupan (Rm. 7:5)
dan berkuasa dalam kematian (Rm. 5:21). Kemanusiaan diperbudak oleh dosa dan
kematian (Rm. 6:6, 9, 12, 14, 16, 18, 20). Paulus tidak membicarakan tentang
pemisahan kekal dari Allah dan hukuman final sebagai “kematian” sebagaimana
dalam Why. 21:8), tetapi dia tampak memikirkannya ketika mengacu pada kematian
sebagai upah dosa yang utama (Rm. 6:23). Dalam Ef. 2:1, 5 dan Kol. 2:13 Paulus
menyatakan orang-orang percaya sebagai yang dahulu “mati” dalam kemanusiaan
berdosa yang tidak tertolong dan membutuhkan inisiatif anugerah Allah (Ef. 2:8)
dalam keselamatan.
Kematian
adalah “musuh terakhir” (1 Kor. 15:26), yang pada penyempurnaan akan ditelan
dalam kemenangan akhir Yesus (1 Kor. 15:55-57; tetapi bandingkan 2 Tim. 1:10).
Lagi, personifikasi kematian adalah jelas, Paulus dalam 1 Kor. 15:25-26
mendaftarkan kematian sebagai salah satu musuh dalam Mzm. 110:1, dan dalam 1
Kor. 15:54-55 mengejek kuasa kematian (bnd. Yes. 25:7; Hos. 13:14).
Paulus
juga menggunakan konsep kematian dengan cara yang berbeda. Untuk dibebaskan
dari dominasi “tabiat lama” dan dari kuasa maut, seseorang harus mati terhadap
dosa. Ini menjadi mungkin melalui kematian Kristus, yang di dalamnya orang
percaya berpartisipasi (Rm. 6:8-10). Pada waktu yang sama Paulus menyebut
tindakan sadar, “memperhitungkan” atau “mempertimbangkan” seseorang “mati
terhadap dosa” dan “hidup bagi Allah” (Rm. 6:11), “menyerahkan dirimu pada
Allah” sebagai yang telah dibebaskan dari kematian (Rm. 6:13) sehingga hidup
baru dalam Kristus bisa memiliki pengaruhnya yang penuh (Rm. 8:1-17).[11]
Paulus ingin agar pembacanya yakin bahwa pada saat kematian, mereka tidak akan
dipisahkan dari Kristus (Rm. 8:38-39).[12]
Bagi
Paulus, “sengat” kematian adalah dosa, yang kuasanya terletak dalam Torah (1
Kor. 15:56). Kematian adalah hukuman untuk dosa yang telah manusia perbuat;
pendosa “layak untuk mati” (Rm. 1:32). Paulus juga mengatakan bahwa dosa
membayar hutangnya dengan kematian (Rm. 6:16, 23).[13]
Demikianlah, kematian adalah kuasa yang menguasai diri manusia, dan pada
perluasannya sebuah realitas masa kini. Kematian “rohani” dan kematian “fisik”,
secara tidak terelakkan terjalin bersama, merupakan realitas hidp dalam dosa.
Hal ini memimpin orang berdosa menangis “Siapakah yang akan melepaskan aku dari
tubuh maut ini?” (Rm. 7:24). Tetapi jika kematian dianggap sebagai konsekuensi
dosa manusia, gabungan “alami” kematian manusia dengan yang terdapat dalam
ciptaan yang lain melahirkan pertanyaan mengapa makhluk hidup non-manusia juga
mengalami kefanaan. Atas pertanyaan ini Paulus, dalam garis Judaisme
kontemporer menjawab bahwa “ciptaan” tidak mengalaminya dari kehendaknya,
tetapi sebagai sebuah hasil dari dosa manusia, pada kesia-siaan dan
ketidakpermanenan. Sekarang dia menanti untuk dibebaskan dari kematian, bersama dengan “anak-anak Allah” (Rm.
8:19-22). Paulus menganggap kematian bukan sebagai fenomena “alami”, tetapi
sebagai fenomena historis.[14]
Konsep Paulus Tentang Sikap Menghadapi Kematian
Paulus
mempunyai pandangan yang optimis terhadap kematian jasmani. Ia percaya melalui
Kristus, kematian telah kehilangan sengatnya (1 Kor. 15:55-56). Paulus tidak
lagi memandang kematian sebagai musuh yang perlu ditakuti, tetapi malah sebagai
titik transisi menuju semacam kehiiupan yang lebih penuh. Pengalamannya sendiri
memperlihatkan keyakinannya. Ia sering diancam maut (1 Kor. 15:31; 2 Kor. 1:8;
11:23 dst),[15] tapi ia
tidak takut. Ia maju terus dalam pelayanannya.
Bagi
Paulus sendiri sebagai sesuatu yang harus dihadapi oleh manusia, maka kematian
baginya adalah keuntungan (Flp. 1:21). Mengapa? Karena baginya hidup adalah
Kristus dan mati serta diam bersama-sama dengan Kristus adalah jauh lebih baik
(Flp. 1:21, 23). Mati tidak hanya keuntungan, tapi jauh lebih baik. Mati
baginya berarti “diam bersama-sama dengan Kristus”.[16]
Kebangkitan
Konsep Kebangkitan dalam Perjanjian Lama
Dalam
PL, kebangkitan seseorang dari kematian dinyatakan paling sedikit sebanyak 8
kali (Ay. 19:26; Mzm. 17:15; 49:15; 73:24; Yes. 26:19; 53:10-12; Dan. 12:2,
14).[17]
Beberapa
pernyataan PL menyatakan kebangkitan dalam pengertian pemeliharaan hukum bukan
kondisi setelah mati dari individu (bnd. Hos. 6:1-3; 13:14; Yeh. 37:1-4) dalam
pengertian pembebasan dari kematian (pembuangan) kepada kehidupan (restorasi
nasional).
Pertanyaan
mendasar dinyatakan dalam Ay. 14:14 “jika manusia mati, dapatkah ia hidup
lagi?” jawabannya adalah bahwa Allah adalah “Penebus” dan pembebasan itu adalah
kondisi setelah mati, yang merupakan sebuah pengakuan tentang kepercayaan
terhadap hidup setelah kematian (Ay. 19:25-27). Pernyataan yang sama terdapat
juga dalam Mazmur (49:15; 16:10; 73:24) yang didasarkan atas keyakinan akan
kuasa Allah terhadap kematian. Nabi-nabi juga menambahkan kepercayaan terhadap
kebangkitan (mis. Yes. 25:8; 26:19). Hal ini berklimaks dalam Dan. 12:1-3, 13.
“Dan banyak dari antara orang-orang yang telah tidur di dalam debu tanah, akan
bangun, sebagian untuk mendapat hidup yang kekal, sebagian untuk mengalami
kehinaan dan kengerian yang kekal” (Dan. 12:2); “tetapi engkau... bangkit untuk
mendapat bagianmu...” (Dan. 12:13).[18]
Walaupun
PL cenderung melihat kehadiran Allah dalam kehidupan sehari-hari, namun dia
tidak diam terhadap isu kebangkitan sebagai kebangkitan individu yaitu
kehidupan setelah kematian. Dalam babak selanjutnya dalam masa
intertestamental, konsep kebangkitan mengalami kemajuan.
Konsep Umum Kebangkitan dalam Perjanjian Baru
Ada
5 jenis kebangkitan yang dapat dibedakan dalam penggunaan PB, yaitu:
1.kebangkitan fisik yang lalu
dari orang-orang tertentu kepada kehidupan fana yang diperbaharui (Luk.
7:14-15; Yoh. 11:43-44; Ibr. 11:35);
2. kebangkitan tubuh Kristus yang
lalu kepada imortalitas (Rm. 6:9)
3. kebangkitan rohani yang lalu
dari orang-orang percaya kepadda kehidupan baru dalam Kristus (Kol. 2:12);
4. kebangkitan orang percaya di
masa depan kepada imortalitas (2 Kor. 15:42, 52)
5. kebangkitan pribadi
orang-orang tidak percaya di masa depan untuk penghukuman (Yoh. 5:29; Kis.
24:15).
Kebangkitan
adalah pembangkitan orang-orang oleh Allah dari hakikat kematian kepada
kehidupan yang baru dan tidak berakhir dalam kehadiran-Nya, di mana kebangkitan
Kristus adalah janji dan paradigma dari kebangkitan tubuh orang-orang percaya
(1 Kor. 6:14; 15:20, 23, 48-49; Kol. 1:18).
Hanya
sedikit karakter kebangkitan tubuh yang disebutkan dalam Alkitab. Kebangkitan
adalah dari Allah (1 Kor. 15:38; 2 Kor. 5:1-2); “tubuh rohani” (1 Kor. 15:44,
46; bukan berarti hanya roh), bebas dari dosa dan tanpa naluri fisik (1 Kor. 15:42-43),
bebas dari penyakit atau kekurangan, seperti-malaikat (Mrk. 12:25; Luk. 20:36),
tanpa nafsu seksual dan kuasa prokreasi, dan tidak mati; itu surgawi (1 Kor.
15:40, 47-49). Yoh. 5:29 membedakan ‘kebangkitan yang memimpin kepada hidup’
dari ‘kebangkitan untuk penghukuman’.[19]
Konsep Teologi Paulus Tentang Kebangkitan
Terminologi Kebangkitan
Ada beberapa kata yang berbeda
yang digunakan untuk menggambarkan ide tentang kebangkitan dalam tulisan
Paulus. Kata kerja anistemi anistemi (bangkit) digunakan 5 kali
dengan acuan pada kebangkitan, baik kebangkitan Kristus (1 Tes. 4:14; bnd. Rm.
15:12) dan orang percaya (1 Tes. 4:16; Ef. 5:14). Kata kerja egeirw egeiro (membangkitkan) tampak
38 kali dengan acuan pada kebangkitan (Rm. 4:24, 25; 1 Tes. 1:10; 2 Tim. 2:8;
dll); dan kata gabungan exegeirw exegeiro (membangkitkan) dipakai
1 kali mengacu pada kebangkitan orang percaya (2 Kor. 6:14). Kata anastasiς anastasis (kebangkitan) digunakan 8 kali (Rm. 1:4; 6:5; 1 Kor.
15:12, 13, 21, 42; Flp. 3:10; 2 Tim. 2:13) dan kata benda exanastasiς exanastasis (kebangkitan) terjadi sekali (Flp. 3:11).
Beberapa
ahli menganggap terdapat perbedaan makna dalam dua kelompok kata yaitu egeiro dan anistemi dalam tulisan Paulus. L. Coenen misalnya mengatakan, “egeiro digunakan untuk apa yang terjadi
saat Paskah, yaitu kebangkitan Yang tersalib kepada kehidupan, sementara anistemi dan anastasis mengacu secara lebih spesifik pada penarikan kehidupan
orang selama pelayanan Jesus di dunia.” Tetapi kadang pemakaiannya kadang kabur
dan saling berganti (mis. 5:14; 1 Kor. 15:12-13 dan 15:42). Karena itu Paulus
tidak bermaksud membedakannya, walaupun penggunaan egeiro mungkin lebih tradisional dan berhubungan dengan sumber dari
Palestina.[20]
Latar Belakang Konsep
Banyak
ahli setuju bahwa doktrin kebangkitan tubuh adalah perkembangan terakhir dalam
tulisan-tulisan Yudaisme. Yang pertama yaitu dalam PL (mis. Dan. 12:2 dan
(mungkin) Yes. 26:19) sebagai kebangkitan tubuh dan yang lainnya yaitu kebangkitan
nasional. Kebangkitan tubuh juga terdapat dalam teks apokrifa dan pseudepigrafa
Yahudi termasuk 2 Makabe, 4 Ezra, 1 Henokh dan 2 Barukh. Ada juga anggapan,
doktrin ini berasal dari Platonisme klasik yang menggambarkan kebangkitan
spiritual atau transmigrasi jiwa. Sementara tulisan-tulisan Paulus untuk
menyebutkan kebangkitan Kristus, ada indikasi bahwa ide itu adalah bagian dari
kepercayaan dan harapan Yesus sendiri yang keempat Injil rekam (beberapa
menolak hal itu diungkapkan dalam sumber ‘Q’). Paulus mungkin telah mengambil
sentralitas kebangkitan sebagai sebuah ide teologis dari Yesus sendiri.
Namun,
hal ini juga berkaitan dengan keanggotaan Paulus dalam partai Farisi Yudaisme
(Flp. 3:5; Kis. 23:6; 26:5). Dalam Kisah Para Rasul pertidaksetujuan antara
Sadukki dan Farisi terhadap doktrin kebangkitan tubuh adalah tema menonjol
(Kis. 4:2; 23:6-8; 24:21; bnd. Kis. 26:6; 28:20). Cukup beralasan jika Paulus
menerima pandangan Farisi tentan kebangkitan dan memahami pertemuannya dengan
Tuhan yang bangkit dalam terang hal itu.[21]
Konsep Paulus Tentang Kebangkitan
Paulus
menggambarkan kebangkitan sebagai “misteri” (mysterion) dalam 1 Kor. 15:51. Menurut L. J. Kreitzer misteri
kebangkitan ini bisa dijelaskan dalam delapan bagian, yaitu:[22]
1. kebangkitan sebagai
transformasi
Hal
ini adalah gambaran kebangkitan masa depan yang ditunggu oleh orang Kristen.
Transformasi itu adalah “symporphizo”
yaitu menjadi seperti Dia (Flp. 3:10). Dalam Flp. 3:21 bahasa transformasi
hadir 2 kali: “Yesus Kristus akan mengubah (metaschematisei)
tubuh kita yang rendah menjadi seperti (symmorphon)
tubuh mulia-Nya”. Dalam 1 Kor. 15:51-52 transfomasi tampak dengan kata allagesometha (kita akan diubah) untuk
menggambarkan apa yang dinantikan komunitas orang percaya dalam parousia. Transformasi ini akan terjadi
pada semua orang percaya, tetapi tidak berarti bahwa semua akan dibangkitkan.
Hanya semua yang telah matilah yang dibangkitkan; sementara yang masih hidup
saat parousia transformasi itu cukup
untuk menerima kekekalan. Tampaknya secara berlawanan, transformasi terjadi sekarang (2 Kor. 3:18) dengan metamorphoumeta
(kita sedang diubah). Tetapi Paulus sebagaimana pendapat E. E. Ellis menyatakan
bahwa itu bukan dualisme, tetapi harus dipahami bahwa transformasi moral adalah proses sekarang, sementara
transformasi kefanaan menerima
kebangkitan tubuh terjadi saat parousia.
2. Kebangkitan Sebagai
Ketidakrusakan (Incorruption)
Dalam
1 Kor. 15 Paulus menggunakan sejumlah istilah dan gambaran yang berlawanan
untuk menggambarkan hidup kebangkitan berbeda dari keberadaan sekarang:
kebinasaan/ketidakbinasaan (42), kehinaan/kemuliaan (43); kelemahan/kuasa (43);
tubuh fisik/tubuh rohani (44); manusia debu/manusia sorga (47-49).
Ketidakbinasaan (aphtharsia/aphtartos)
memiliki hubungan yang dekat dengan kebangkitan Yesus Kristus.
3. Kebangkitan sebagai
Imortalitas
Dalam 1 Kor. 15:53b-54 Paulus menggambarkannya
sebagai tabiat fana (to thneton) yang
mengambil imortalitas (kekekalan) (athanasia).
Kebangkitan adalah hal yang mana orang Kristen memperoleh imortalitas, dan
kematian “ditenggelamkan dalam kemenangan” (Yes. 25:8). Kebangkitan adalah
sesuatu yang diterima sebagai harta masa depan saat parousia.
4. Kebangkitan dan Keagungan
Terdapat
hubungan yang dekat antara kebangkitan Yesus dari kematian dan keagungan-Nya
pada tangan kanan Allah (Rm. 1:3-4; Flp. 2:9-11). Keagungan secara jelas
diterima setelah kebangkitan (Rm. 8:34; Ef. 1:20; 2:6; Kol. 3:1). Keagungan adalah konsekuensi tidak terelakkan
dari kebangkitan. Paulus mengimplikasikan bahwa orang-orang percaya akan
mengalami sebuah kenaikan fisik ke sorga pada parousia (1 Tes. 4:16-17).
5. Kebangkitan dan Pengagungan
Paulus
menggunakan bahasa pengagungan untuk menggambarkan implikasi kebangkitan
Kristus untuk orang percaya. 1 Tes. 2:12 menggabungkan kerajaan Allah dan
kemuliaan, sementara 2 Tes. 2:14 menyatukan panggilan Kristen dan pencapaian
masa depan terhadap kemuliaan Yesus Kristus. “tubuh fana” (ta thena ta somata)dan “daging fana” (thnete sarx) dikatakan akhirnya dipermuliakan sebagai sebuah hasil
dari kesatuan di antara Kristus dan gerejanya (Rm. 8:11-17; 2 Kor. 4:10-18).
6. Kebangkitan dan Hidup Kekal
Hidup
kekal (zoe aionios) terdapat dalam
ayat-ayat mengenai hasil dari iman dalam Yesus Kristus (Rm. 5:21; 6:22-23; 1
Tim. 1:16; 6:12; Tit. 1:2; 3:7) dan dengan penghakiman final orang benar (Rm.
2:7). Penerimaan hidup kekal dalam kepenuhannya (kekekalan) adalah sesuatu di
masa depan (di mana kebangkitan menjadi satu dimensi utama bagi hal itu).
7. Kebangkitan dan Persesuaian
dengan Gambar Kristus
Dalam
1 Kor. 15:49 pengharapan kebangkitan Kristen adalah “memakai rupa dari yang
sorgawi”.
8. Kebangkitan dan Penebusan
Tubuh
Kebangkitan
melibatkan penebusan tubuh fisik. Dalam Roma 8:23 Paulus menggambarkan akibat
kebangkitan dalam istilah “penebusan tubuh kita (ten apolytrosin tou somatos hemon) (bnd. Juga Flp. 3:20-21).
Kebangkitan
tubuh ini harus disamakan seperti tubuh kebangkitan Yesus yaitu tubuh sorgawi.
Kebangkitan Kristus dipandang sebagai “buah sulung” (1 Kor. 15:20,23) menjamin
bahwa kebangkitan orang lain akan menyusul.[23]
Paulus mengatakan bahwa ‘tubuh kita yang hina’ akan diubah ‘sehingga serupa
dengan tubuh-Nya yang mulia (Flp. 3:21). Tubuh kebangkitan Yesus dalam beberapa
hal sama seperti tubuh alamiah, tapi dalam beberapa hal lain berbeda. Pada
beberapa peristiwa Dia dikenal dengan segera (Mat. 27:9; Yoh. 20:19; dll) tapi
dalam peristiwa-peristiwa lain tidak (khususnya perjalanan ke Emaus). Ia muncul
tiba-tiba di tengah-tengah murid-murid yang berkumpul dengan pintu tertutup
(Yoh. 20:19); tapi sebaliknya Ia lenyap dari pandangan kedua orang di Emaus. Ia
berbicara tentang diriNya memiliki ‘daging dan tulang’ (Luk. 24:39).
Kadang-kadang Ia menikmati makanan (Luk. 24:41-43) kendati makanan jasmaniah
bukanlah kebuthan bagi kehidupan di seberang kematian (bnd. 1 Kor. 6:13). Dan
adalah jelas, bahwa Tuhan Yesus yang telah bangkit dapat menyesuaikan diri
dengan batasan-batasan kehidupan jasmani seturut kehendak-Nya. Hal itu memberi
kesan, bahwa apabila kita bangkit kita akan memiliki kemampuan yang sama.[24]
Tubuh ini bersifat badani, tapi memiliki kuasa-kuasa baru dan ajaib yang
berbeda dengan tubuh jasmani biasa, tetapi menembus batas-batas fisik.[25]
Konsep Paulus Tentang Kontinuitas Kematian dan Kebangkitan
Kontinuitas
kematian dan kebangkitan menjadi sebuah dilema yang mengkaitkan masalah tempat
sementara orang-orang yang telah meninggal sebelum kebangkitan Kristus.
Karena
itu, ada beberapa pengertian tentang pandangan Paulus tentang hal ini, yaitu:
- orang-orang percaya sedang menunggu kebangkitan sebagai roh-roh yang tidak mempunyai tubuh, lalu pada saat itu mereka akan menerima tubuh-tubuh yang mulia dan kekal.[26]
- orang-orang percaya dalam keadaan sementara mempunyai tubuh “sementara” yang akan digantikan oleh tubuh kebangkitan yang mulia pada saat kedatangan Tuhan (kebangkitan 2 tahap).[27]
- Kebangkitan orang-orang percaya terjadi pada saat kematian mereka tetapi kebangkitan orang-orang tidak percaya terjadi hanya pada saat kedatangan Tuhan.[28]
- semua orang mati tetap tidak sadar sampai saat kebangkitan, pada saat itu mereka akan dibangkitkan dan menerima tubuh yang mulia.
Pandangan
yang keempat mengenai jiwa yang tidur baru-baru ini menerima dukungan kuat
(khususnya dalam karya Cullmann). Paulus kadang-kadang menggunakan kata kerja koimaomai yang arti dasarnya tidur,
tetapi masa intertestamental digunakan dalam pengertian kematian. Dalam I Kor.
11:30 dan 1 Tes. 4:13 menunjuk suatu keadaan tidur terus-menerus, yang
dibedakan dengan tidur sesaat saja (juga dalam 1 Tes. 4:14-15).[29]
Namun,
tidak ada alasan menganggap bahwa Paulus percaya tentang suatu keadaan tidak
sadar yang dimasuki orang-orang percaya saat kematiannya sehingga unsur jiwa
yang tidur itu ditolak (bnd. Flp. 1:23; 2 Kor. 5:8). Cullmann menyatakan bahwa
kesadaran akan waktu akan berbeda sesudah kematian, dan jika dia benar, kita
tidak boleh menganggap adanya suatu tenggang waktu dalam arti biasa. Dari sudut
pandang Allah, mungkin kebangkitan pada saat kedatangan Tuhan akan segera
terjadi setelah kematian setiap orang percaya. Ini di luar pengalaman manusia.[30]
Kesimpulan
Kematian
tidak dapat dihindarkan, karena itu sekarang telah menjadi realitas historis,
itu bukan sesuatu yang alami sebab sejak semula Allah tidak memaksudkan manusia
mati. Dosa yang dilakukan manusia memang mengakibatkan kematian, tidak hanya
secara spiritual dalam arti mengalami keterpisahan dengan Allah, tetapi juga
secara fisik. Paulus melihat bahwa kematian telah mengalami kekalahan di dalam
Kristus Yesus dan karena itu orang percaya akan dibangkitkan untuk hidup yang
kekal di dalam kebangkitan yang telah dialami sekarang dan mengalami
kepenuhannya di masa yang akan datang.
[1]
M. J. Harris, “death” in New Dictionary of Theology, Sinclair B.
Ferguson and David F. Wright (ed.), Leicester: IVP, 1988, p. 188
[2]
P. S. Johnston, “Afterlife” in Dictionary
of Old Testament: Wisdom, Poetry and Writings, Tremper Longman III and
Peter Enns (ed.), Nottingham: IVP, 2008, p. 5
[3]
Eugene H. Merrill, “mwt” in New International Dictionary of Old
Testament Theology and Exegesis, Willem A. VanGemeren (Ed.), Carlisle:
Paternosfer Press, 1997, p. 886-887
[4]
L. Coenen, “Death, Kill, Sleep: apokteino”
in The New International Dictionary of
New Theology Volume I, Colin Brown (ed.), Grand Rapids: Regency Reference
Library, 1986, p. 429
[5]
Paulus juga memberi komentar tentang cara hidup Yunani “mari kita makan dan
minum, karena besok kita mati” (1 Kor. 15:32)
[8]
W. Schmithals, “Death, Kill, Sleep: thanatos”
in The New International Dictionary of
New Theology Volume I, Colin Brown (ed.), Grand Rapids: Regency Reference
Library, 1986, pp. 430-437
[30]
Donald Guthrie, Op.Cit., hlm.
184-186. Jika hal ini benar maka gagasan tentang syeol (Yun. hades)
sebagai tempat sementara tidak perlu dipersoalkan, atau justru ditolak. Jika
dibandingkan dengan tanggapan Guthrie sendiri dalam konsep keadaan sementara
menurut Injil Sinoptis (Ibid., hlm.
166), syeol atau dunia orang mati
disebutkan tiga kali dalam kitab-kitab Injil Sinoptik (Mat. 11:23; 16:18; Luk.
16:23). Sebagaimana juga disebutkan Eugene H. Merrill PB juga mengadopsi konsep
syeol seperti yang terdapat dalam PL
dengan mengacu pada Luk. 16:23 (Eugene H. Merrill, Op.Cit., p. 888)