Pendahuluan
Teologi yang operatif
adalah teologi yang aplikatif, dan teologi yang aplikatif itu adalah teologi
yang memperhatikan konteks dan berusaha menjawab konteks itu; tidak hanya
secara teoritis, tetapi lebih ke praksis. Tapi bagaimanapun praksis dikerjakan,
hal itu tidaklah terlepas dari landasan teoritis apa yang telah dibangun. Tanpa
usaha menjawab konteks berteologi, maka berteologi hanya menjadi teologi di
atas awan yang mengambang.
Salah satu konteks
kehidupan manusia adalah penderitaan. Penderitaan sebagai realita hidup
berdunia adalah aspek yang juga harus dijawab oleh teologi, dan dalam hal ini
teologi sosial hendak menjawab konteks penderitaan tersebut.
Pengertian
teologi sosial mempunyai pengertian dalam dua macam, yang pertama yaitu dalam arti luas dan dalam arti sempit.
Teologi sosial
dalam arti luas yaitu sebagai semacam teologi fundamental di mana teologi
sosial merupakan orientasi seluruh teologi dan bukan merupakan bagiaan atau
cabang teologi tertentu. Karena teologi selalu harus berbicara berhadapan
dengan masyarakat, maka seluruh usaha teologi harus mempunyai ciri sosial atau
kontekstual, agar dapat dimengerti secara lebih jelas dank arena itu lebih
berfungsi bagi gereja. Dalam arti luas, teologi sosial kita mengerti sebagai
dimensi, arus, arah dasar, orientasi atau cakrawala seluruh usaha refleksi
teologis.
Teologi sosial
dalam arti sempit yaitu sebagai teologi khusus tentang keterlibatan umat dalam
menghadapi umat dalam masalah-masalah masyarakat. Dan yang menjadi perhatian kita dalam teologi
sosial adalah dalam arti sempit ini.[1]
Pengertian Penderitaan Sebagai Locus Teologi
Sosial
Menurut KUBI, penderitaan
berasal dari kata derita yaitu sesuatu yang ditanggung di hati (seperti
kegersangan, kesusahan). Penderitaan cenderung dikaitkan dengan menderita yakni
menanggung sesuatu yang tidak menyenangkan. Penderitaan adalah proses atau cara
menderita dan juga penanggungan terhadap diri seseorang manusia.[2]
Penderitaan adalah sebuah pengalaman universal
manusia, sesuatu yang tidak diingini oleh manusia dari semua umur, ras, status
dan agama.[3] Penderitaan atau menderita dapat
digunakan dalam pengertian ‘mengalami’ dan ‘memikul’ sehingga penderitaan
adalah pengalaman penderitaan atau kesengsaraan yang di dalamnya
keberadaan/manusia sadar tentang perampasan maksud atau fungsi mereka.[4] Penderitaan adalah sebuah pengalaman atau
sebuah hal yang dipikul yaitu perampasan tujuan atau peran mereka baik oleh
orang lain maupun oleh keberadaannya sendiri secara eksistensi maupun
aksen-aksennya.
John Hick sebagaimana dikutip A.A. Yewangoe
memahami penderitaan sebagai keadaan mental, keadaan pikiran yang sangat
mengharapkan atau tergila-gila bahwa situasi adalah sebaliknya, kemampuan untuk
membayangkan alternatif-alternatifnya dan (dalam diri manusia) kesadaran moral.[5] Hal itu berarti jika sesuatu dianggap
sebagai penderitaan, maka kita berharap bahwa orang tersebut amat ingin
mengubah situasinya sehari-hari, berjuang untuk menemukan alternatif-alternatif
baru yang memampukan dia melarikan diri dari sesuatu yang menghancurkan.
Dalam seluruh sejarah,
khususnya dunia barat, realitas penderitaaan telah menjadi hal yang sering
dilihat sebagai argument terkuat melawan eksistensi pribadi Allah Kekristenan
yang maha kuasa dan maha kasih. Mengapa? Karena kecenderungan yang terjadi
sejauh ini adalah jawaban-jawaban teoritis yang menyediakan bantuan yang kecil,
dan ironisnya kadang-kadang menambah penderitaan yang lebih besar untuk yang
mengalaminya. Karena itu, teologi sosial dalam hal ini tidak boleh hanya berkutat
dalam pertanyaan, “mengapa penderitaan terjadi?” sementara mengabaikan
pertanyaan yang lebih penting: “bagaimana seharusnya seseorang merespons
realitas penderitaan?” Untuk alasan ini, sebuah teologi penderitaan (teologi
sosial dalam konteks penderitaan) harus mempertimbangkan adegan-adegan yang
berbeda dari penderitaan manusia dan berusaha menjawab kedua pertanyaan tentang
masalah penderitaan itu.[6]
Sejarah menunjukkan bahwa Holocaust[7] bukanlah satu-satunya saksi bagi realitas
yang radikal dari penderitaan manusia. Kita tahu bahwa di abad ini sendiri,
jutaan orang menderita dan mati di bawah para pemimpin politik yang brutal dan
tidak manusiawi di dalam dunia ini. Lebih jauh, kira-kira 1,5 milyar orang
sekarang hidup dalam kemiskinan. Setiap tahun, 40 juta orang meninggal karena
kelaparan dan 14 milyar anak-anak meninggal sebagian besar karena penyakit di
Eropa dan Amerika Utara. Karena itu, penderitaan memerlukan sebuah respons
teologi yang menanganinya secara serius-hal ni bukan hanya sebuah latihan akademis
atau sebatas pengalamatan sejenis penderitaan khusus belaka tanpa memperhatikan
keberagamannya.[8]
Bentuk-bentuk Penderitaan
Kita harus mengakui bahwa
masalah penderitaan adalah nyata dan kompleks. Alkitab sendiri menggunakaan
banyak kata-kata yang berbeda untuk mengungkapkan ide ini, misalnya, kesusahan,
kesedihan, kesulitan, tekanan, kesakitan, masalah dan kesengsaraan.
Kompleksitas ini terlihat dalam bentuk-bentuknya,
yaitu:
1. Dari segi targetnya : individual, komunitas, negara, regional atau
keseluruhan manusia.
2. Dari segi caranya mempengaruhi manusia : secara fisik maupun secara
nonfisik.
Penderitaan secara fisik terutama mempengaruhi tubuh orang atau komunitas,
contohnya penyakit fisik, ketidakmampuan fisik, kelaparan, kehausan, penyakit
dan kematian. Penderitaan nonfisik terutama mempengaruhi keberadaan batiniah manusia secara
intelektual, secara emosional, secara psikologis maupun secara spiritual. Hal
itu dinyatakan konflik, kecemasan, depresi, kekecewaan, ketertinggalan, rasa
malu, rasa bersalah dan selanjutnya. Namun, tipe penderitaan ini secara dekat
dihubungkan karena manusia terdiri dari baik dimensi fisik maupun nonfisik. Tak
perlu dipertanyakan bahwa penderitaan mempengaruhi seseorang secara holistik.
3. Dari segi tingkat intensitasnya : bisa ditarik mulai dari penderitaan
pribadi yang kecil sampai penderitaan regional atau global yang hebat yang
disebabkan oleh kemiskinan, kebutahurufan, mati kelaparan, polusi lingkungan,
penyakit alami, tekanan, perang, terorisme dan AIDS.[9]
Penyebab Penderitaan
“Mengapa penderitaan terjadi?”
merupakan pertanyaan pertama kita tadi. Dan inilah barangkali yang merupakan
pertanyaan umum bagi banyak orang yang menderita. Ada empat penyebab utama
penderitaan, yaitu:
1. Penderitaan
sebagai hasil dari dosa
Hal ini berdasarkan cerita
penciptaan dan kejatuhan ke dalam dosa. Kondisi “sungguh amat baik” (Kej. 1:31)
telah berubah. Penderitaan pertama tampak dalam Kejadian 3. ketika dosa
memasuki dunia melalui ketidaktaatan manusia (Kej. 3:6-7), penderitaan juga
masuk dalam bentuk konflik, kesakitan, keburukan moral, kerja keras dan
kematian (Kej. 3:15-19). Karenanya, penderitaan adalah sebuah kekacauan ke
dalam dunia ini.
2. Penderitaan adalah bagian dari ciptaan
Banyak teolog berpendapat
bahwa cerita penciptaan juga menyatakan beberapa bentuk penderitaan adalah
bagian dari aturan yang diciptakan. Hal itu adalah maksud Allah dan kondisi
manusia. Dalam God and Human Suffering,
Douglas John Hall menunjukkan paling sedikit empat bentuk penderitaan telah ada
dalam dunia ini sejak penciptaan: kesendirian (bnd. Adam dalam Kej. 2:18),
keterbatasan (mengetahui yang baik dan jahat), pencobaan dan kecemasan
(penyebab Hawa menuruti si pencoba).[10]
3. Penderitaan adalah hasil dari tekanan
Banyak jenis penderitaan
disebabkan oleh tekanan, eksploitasi atau siksaan. Dengan kata lain,
penderitaan seseorang bisa disebabkan dari dosa orang lain-kepentingan diri
sendiri, pengabaian, kebencian dan kekejaman. Contoh : kemiskinan bisa
disebabkan sistem yang bergantung pada beberapa kelas sosial.
4. Penderitaan adalah sebuah misteri
Walaupun penderitaan dapat
ditemukan dalam sumber-sumber berbeda, beberapa manifestasi penderitaan secara
sederhana tidak berarti dan tidak dapat dijelaskan, contohnya penyakit yang
mengambil nyawa bayi dan penyakit alami yang secara hebat menyerang sejumlah
orang. Tsunami di Aceh merupakan contoh yang dekat.[11]
Respons Allah Terhadap Penderitaan: Allah
yang Solider dan Menderita
Penderitaan dilihat
sebagai sesuatu yang secara langsung dan tidak langsung memiliki kaitan dengan
Tuhan. Dengan begitu, penderitaan dapat membuat orang menerima atau berontak
terhadap Allah.[12] Pertanyaan tentang bagaimana respons
Allah terhadap penderitaan manusia adalah penting sebab berkaitan dengan apa
tindakan Allah bagi penderitaan manusia. Respons Allah itu dinyatakan dalam
karya-Nya yang menopang dan menebus bagi manusia dan keseluruhan ciptaan.
Berlawanan dengan pembangkangan manusia yang memimpin pada ciptaan yang
menyimpang dan penderitaan manusia (Mzm. 104; Kol. 1:7; Ibr. 1:3). Hal itu
melalui kemahakuasaan dan pemeliharaan-Nya sehingga dunia tetap ada. Dalam
kediaman Allah, dia masih bekerja di dalam dan melalui ciptaan-Nya. Kejadian
3:15, kisah Nuh, pemilihan Abraham, pembebasan Israel dari Mesir secara jelas
menyatakan rencana penebusan-Nya bagi semua manusia.
Respons yang paling
signifikan ditemukan dalam Yesus Kristus, secara khusus penderitaan dan
kematian-Nya di kayu salib. Melalui Kristus, Allah berintervensi dalam ciptaan
untuk berpartisipasi dalam penderitaan manusia, juga untuk menyelamatkan
manusia dan seluruh ciptaan. Pertama sekali, Dia menempatkan dirinya di antara
manusia ketika Dia “menjadi daging dan tinggal di antara kita” (Yoh. 1:14).
Sebagai manusia, Yesus benar-benar berbagi keterbatasan dan penderitaan yang
merupakan bagian hidup manusia, namun dia tidak berdosa (Mat. 4:2-11; Yoh.
11:33-35; Ibr. 4:15). Selama pelayanan-Nya di bumi, Yesus selalu merespons
orang yang menderita. Dia menyembuhkan orang buta, orang sakit, orang lumpuh
dan mereka yang menderita karena penyakit lain dan kerasukan (contoh Mat.
8:14-17; 9:27-34; 12:9-13). Dia memanggil mereka yang dianggap “pendosa” untuk
mengikut Dia dan Dia tinggal di antara mereka (Mat.9:9-11; Mrk. 2:13-17; Luk.
19:1-10). Di kayu salib, Allah melalui Yesus Kristus berbagi penderitaan dengan
manusia untuk memulihkan kita dari dosa dan konsekuensinya. Hal ini sungguh
adalah makna baru dari penderitaan. Kebangkitan dan kemuliaan Kristus setelah
Dia menderita dan mati juga menyatakan bahwa keadilan pada akhirnya akan
dilakukan. Di tengah-tengah penderitaan yang tidak terselami dan tidak adil,
orang percaya diyakinkan bahwa mereka akan dibangkitkan dari kematian dan
berbagi kemuliaan Kristus (1 Tes. 4:13-18).[13]
Respons Allah sedemikian
menunjukkan bahwa Dia solider atas manusia dan apa yang dialaminya. Bahkan
lebih dari itu, Dia berpartisipasi dalam penderitaan manusia, turut ambil
bagian, merasakan dan justru menebus
manusia dari penderitaan manusia.
Konsep Teolog Sosial tentang Konteks Penderitaan
1. Jorgen Moltmann
Moltmann dalam The Crucified God berpendapat bahwa
Allah menyatakan diri-Nya sendiri pada manusia melalui penderitaan dan salib,
bukan lewat kuasa dan kemuliaan. Kristus mati di atas salib dan menangis,
“Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan aku?” Bagi Moltmann, tangisan
karena ditinggalkan ini bukanlah akhir dari teologi, tetapi lebih adalah
permulaan dari sebuah teologi yang benar-benar Kristus-sebuah teologi
pembebasan yang membuat pengalaman Yesus tentang Allah di kayu salib menjadi
fondasi semua gagasan tentang Allah. Di kayu salib, Allah tidak hanya telah
berkarya secara eksternal, tetapi Dia telah bertindak dalam diri-Nya sendiri
dan telah menderita di dalam diri-Nya sendiri. Karena itu Kristus yang
disalibkan memanifestasikan penderitaan Allah sendiri. Dapat dikatakan bahwa
Anak menderita dalam keadaan ditinggalkan tetapi Bapa menderita karena kematian
Anak, dan jika Allah menganggap diri-Nya sebagai Bapa Yesus Kristus, kemudian
Dia juga menderita karena kematian keBapaan-Nya dalam kematian Yesus Kristus.
Kematian Yesus Kristus ini
menyatakan bahwa tidak ada penderitaan yang tidak merupakan penderitaan Allah;
tidak ada kematian yang tidak menjadi kematian Allah di atas kayu salib; tidak
ada hidup dan sukacita yang tidak terintegrasi dalam kehidupan dan sukacita
kekal dari Allah. Manusia yang menderita tanpa alasan selalu merasa
ditinggalkan Allah. Bagaimanapun, siapapun yang menangis pada Allah dalam
penderitaan ini ikut dalam tangisan kematian Yesus, dan pada waktu yang sama
Allah sedang menangis bersamanya. Allah menderita di dalam kita.[14]
Baginya,
masalah theodice[15] tidak dapat diselesaikan tetapi
membutuhkan sebuah keterbukaan dialektikal dari teologi tentang penderitaan
dunia sampai janji kebangkitan dipenuhi dalam eskatologi masa depan, ketika
Allah pada akhirnya membawa keseluruhan ciptaan-Nya melampaui kejahatan dan
penderitaan serta kematian.[16]
2. Martin Luther
Bagi Luther dalam konsep theologia crucisnya, penderitaan dilihat
sebagai hal yang olehnya manusia dibawa pada Allah. Dalam hal ini, Luther
memperkenalkan dialektika antara opus
alienum Dei (karya Allah yang bertentangan) dan opus proprium Dei (karya Allah yang sebenarnya). Opus alienum Dei mengacu pada
“memberantas, membunuh, mengambil harapan dan memimpin pada keputus-asaan” dan opus proprium Dei mengacu pada
“mengampuni, berbelas kasihan, menguatkan dan menyelamatkan”. Kedua karya ini
dihasilkan dari Allah kasih yang sama, dan opus
propriumm Dei diselubungi dalam opus
alienum Dei, dan terjadi bersamaan. Di kayu salib, Yesus menderita demi
kita dan Dia mengemban dosa kita supaya kita dapat memiliki kebenaran-Nya.
Ketika orang tidak beriman hanya melihat keadaan tak berdaya dan putus asa dari
seorang yang mati di kayu salib, orang percaya mengenal kehadiran dan karya
Allah yang tersalib dan tersembunyi yang hadir dalam penderitaan manusia dan
secara aktif bekerja melaluinya.[17]
3. Vengal Chakkarai
Bagi Chakkarai,
penderitaan tidak boleh serta merta dikaitkan dengan dosa, terutama sebagai
sumber penderitaan. Teolog India ini menyatakan bahwa salib menduduki tempat
utama dalam kehidupan dan pekerjaan Yesus, sehingga penderitaan dan kematian
Yesus sang avatar (penjelmaan),
menempati tempat utama dalam kehidupan-Nya yang secara misterius diungkapkan-Nya
kepada para murid-murid-Nya saja. Yesus sendiri memahami penderitaan dan
kematian-Nya sebagai tuntutan ilahi (Mrk. 8:31; Luk. 32:22). Yesus memasuki
penderitaan-Nya secara sukarela dan sadar, tapi mengalaminya dalam keengganan
dan rasa takut mengerikan. Ia
menolak penderitaan, bergumul dengannya dan melawannya, bahkan juga pada salib.
Alkitab sendiri, penuh
dengan gagasan tentang Allah yang menderita, misalnya dalam Yes. 63:9, 10
dikatakan bahwa dalam segala kesusahan dan kesedihan, Allah sendiri menyelamatkan
Israel. Allah sendiri menderita karena Yesus yang menderita di kayu salib
adalah avatar Allah.
Terhadap masalah sosial,
Yesus tidak lain daripada Raja kedukaan yang merasakan penderitaan manusia yang
mendalam dengan hati dan pikiran-Nya. Dalam menghadapi masalah-masalah sosial,
Chakkarai berusaha mengungkapkan secara konkret siapakah Yesus Kristus dalam
hidup-Nya (Avatar) dan karya-Nya (salib). Menurutnya gereja adalah kesatuan
dengan Tuhan yang hidup untuk “tindakan sosial”. Gereja, bukanlah suatu lembaga
yang sibuk hanya dengan dogma-dogma dan tata gereja, tetapi sebaliknya adalah
tempat kehidupan dan kesaksian rohani dapat berlangsung.[18]
4. M. M. Thomas
Kaum awam India yang
berminat pada teologi ini mendasarkan teologi penderitaannya dari puisi
meditatifnya atas kelaparan hebat di Shertallay (November 1941) sesuai Mazmur
73. Dalam puisi ini dia melukiskan Allah itu baik. Namun, ia tidak mengerti
mengapa Allah ini membiarkan kejahatan
menyentuh dunia. Thomas tidak mengerti, mengapa Allah yang baik ini membiarkan
kejahatan yang mengerikan menyentuh anak-anak yang tidak bersalah, dan ibu
mereka yang kelaparan. Di manakah Allah? Apakah Allah yang sudah lebih dulu
mengetahui semuanya tidak dapat menghindarinya? Lalu apa artinya providential Dei? Apakah masih ada
gunanya percaya kepada Allah ini yang membiarkan kejahatan terjadi? Situasi ini
tampaknya tak punya harapan. Semuanya gelap dan sunyi. Namun, di tengah-tengah
situasi yang tidak tertolong ini, masih ada pengahrapan. Thomas melihat dari kejauhan
cahaya yang berkelap-kelip, suatu tanda pengharapan yang menembus kesunyian
yang mendalam. Ya, baginya inilah tanda kehidupan, namun kehidupan itu belumlah
dibebaskan dari masalah-masalah dan air matanya. Itu adalah Kristus sendiri.
Yesus mengidentifikasikan diri-Nya dengan orang-orang yang menderita. Ia
menangis dengan mereka yang menangis. Yesus disalibkan dalam kematian
orang-orang ini.
Baginya, cukuplah Kristus
disalibkan melalui penderitaan-penderitaan dan kesengsaraan orang-orang ini
(baca: korban kelaparan itu). Ia tidak boleh disalibkan kembali oleh rasa
sangsi akan identifikasi-Nya dengan para korban. Thomas menyadari kesalahannya
karena mengira Allah tidak punya urusan apapun dengan bencana kelaparan itu.
Baginya, Kristus yang menderita ini tidak lain daripada Allah sendiri.[19]
5. S. J. Samartha
Konsep penderitaannya
merupakan penolakan atas konsep awidya
(ketidaksadaran) sebagai proses karma-samkara
(penderitaan terjadi karena dosa manusia). Konsep penderitaan baginya tidak
hanya dipandang dari perspektif keadilan, tetapi dari juga dari perspektif
kasih. Spiritualitas sejati terletak dalam penderitaan demi kasih. Benih
kehidupan dari pohon kehidupan Kristus adalah kemampuan untuk menemukan
kekuatan melalui penderitaan. Penderitaan diterima dan digunakan untuk
menggenapi maksud kasih. Hukum kasih ini dilambangkan dalam salib dan
kebangkitan Yesus, yang melaluinya ada pengharapan.[20]
Masih
banyak teolog yang mencoba menjawab teologi tentang penderitaan, misalnya
teologi minjung, teologi penderitaan Jepang, dll. Namun, tampaknya konsep yang
lahir dalam menghadap penderitaan ini memang berfokus pada pekerjaan Allah di
dalam Yesus Kristus yang solider atas penderitaan manusia.
Tugas
Teologi Sosial dalam Konteks Penderitaan
Penderitaan yang dipahami
sebagai suatu keadaan tergila-gila terhadap keadaan yang sebaliknya terjadi
secara realitas, merupakan keadaan yang perlu dijawab. Penderitaan dialami dan
dirasakan, tetapi juga kadang tidak disadari justru karena penderitaan telah
mengambil porsi yang terlalu lama dan berat dalam kehidupan manusia.
Konsep teologi sosial yang
berpusat pada Allah yang solider, peduli terhadap manusia yang menderita
menimbulkan pertanyaan tentang mengapa Allah membiarkan penderitaan terjadi
dalam diri manusia. Dalam hal ini terdapat sebuah dilemma yang dialektis, yang
sering dijembatani oleh konsep theodice,
penderitaan diijinkan oleh Allah supaya manusia terutama semakin mendekat
kepada-Nya; ini adalah konsep perohanian penderitaan.
Bagaimana teologi sosial dalam
pengertian sempit yaitu bagaimana umat terlibat dalam melihat dan bertindak
terhadap penderitaan?
Pertama-tama harus
dikatakan bahwa penderitaan tidak dapat secara membabi-buta disebut disebabkan
oleh dosa. Karena hal itu tidak selalu sesuai dengan realita. Implikasi
negatifnya bahwa tugas teologi sosial bisa saja mengajak orang tersebut supaya
mengaku dosa dan bertobat, padahal tidak benar itu diakibatkan oleh dosa.
Karena itu, tugas teologi sosial tidaklah mencoba mendefinisikan apa penyebab
penderitaan secara kasualistik agar umat tidak menjadi seperti teman-teman Ayub
yang menyuruhnya bertobat dan istri Ayub yang justru menyuruhnya untuk
berpaling meninggalkan Allah. Tetapi kita juga harus waspada, bahwa penderitaan
juga bisa disebabkan oleh dosa sehingga memerlukan pertobatan. Untuk kasus ini
teologi sosial mendorong pertobatan: itu tugas yang pertama.[21]
Kedua, kita perlu
mempertimbangkan konsep theodice
sebab kemahakuasaan Allah mengijinkan manusia untuk mengalami penderitaan itu
adalah dengan sebuah maksud tertentu. Maksud itu bersifat misterius, namun
paling tidak bisa dikatakan bahwa Allah merencanakan sesuatu yang baik di balik
derita itu. Sekali lagi, penderitaan bisa menempatkan manusia pada sebuah
krisis: setia atau meninggalkan Tuhan. Karena itu, teologis sosial harus
berperan dalam mendorong iman yang setia dalam menghadapi misteri itu. Bagi
orang percaya, respons ini penting, meskipun iman tidak memberikan penjelasan
untuk masalah penderitaan, tetapi justru karena iman menolong mereka menanggulangi
penderitaan itu. Iman ini tidak menuntut pengabaian perasaan kita ketika datang
pada Allah. Seorang yang menderita dapat secara jujur protes dan mengeluh pada
Tuhan mereka. Faktanya, tangisan Yesus di kayu salib menggemakan keluh-kesah
dari umat-Nya dalam Mzm. 22. bahkan ketika hal itu dipenuhi dengan kemarahan
dan protes, tangisan kita tidak menghancurkan iman dan harapan kita tetapi
membawa kita lebih dekat pada Allah.[22] Teologi sosial sedemikian justru
menghargai kemanusiaan sebagaimana seharusnya. Unsur perasaan kemanusiaan dari
penderitaan tidak diabaikan, karena pengabaian sedemikian adalah pengingkaran
terhadap kemanusiaan.
Ketiga, solidaritas Yesus
bahwa Dia datang ke dunia, bertindak dan merasakan penderitaan manusia, di mana
Dia menjadikan penderitaan manusia sebagai penderitaan-Nya menunjukkan bahwa
Allah bersimpati atas manusia. Dia adalah Allah yang menderita. Karenanya,
situasi penderitaan orang lain memanggil solidaritas umat. Respons ini tidak
hanya meniru pelayanan Kristus di masa lalu tetapi kesinambungan pelayanan
Yesus-Nya dalam dunia. Hal ini tidak menanyakan, “Apa yang akan Yesus lakukan
dalam situasi ini?” yang mengimplikasikan ketidakhadiran-Nya dari situasi
sekarang ini, tetapi menanyakan, “Apa yang Yesus sedang lakukan dalam situasi
ini dan apa yang saya lakukan sebagai seorang Kristen?” Setelah kematian-Nya,
Yesus menjanjikan kedatangan Roh Kudus atas pengikut-Nya sebagai sebuah
kontinuitas pelayanan-Nya di bumi. Karena itu karya penebusan Krists masih
berlanjut dalam situasi kini dalam hidup orang percaya. Secara lebih spesifik,
orang-orang percaya dipanggil untuk berpartisipasi dalam pelayanan advokasi
atau paraklesis. Kata “advokasi”
datang dari kata Yunani parakletos
yang secara harfiah berarti “dipanggil ke sisi”. Kata ini menunjukkan “sebuah
peran menghibur, menasihati dan menguatkan.” Yesus melanjutkan peran-Nya
sebagai advokat dalam situasi kontemporer kita melalui kehadiran dan karya Roh
Kudus. Untuk berpartisipasi dalam penderitaan orang lain, secara konsekuen, adalah
menjadi advokat mereka dan memampukan mereka untuk mengalami kehadiran dan
kuasa Kristus bersama mereka dalam kebutuhan dan pergumulan mereka,[23] dengan memperhatikan seluruh bentuk dan
aspek penderitaan mereka.
Stanley Samartha melihat
peran ini demikian, “Bila orang-orang Kristen mengaku bahwa bahkan sampai hari
ini, setiap kali seseorang menderita, seolah-olah mereka merasakan siksaan
Kristus pada salib, maka hal itu harus dibuktikan dalam tindakan, bukan lewat
pernyataan.”[24]
Kesimpulan
Masalah penderitaan adalah
masalah kompleks dan luas. Menghadapinya dalam teologi sosial berarti melihat
peran umat dalam menghadapi penderitaan, baik penderitaannya sendiri maupun
penderitaan orang lain. Upaya berteologi sosial dalam konteks penderitaan
melihat sentralitas solidaritas Allah dalam Yesus Kristus atas penderitaan
manusia, bahwa (mengikuti bahasa Choan Seng Song) Allah turut menderita,
penderitaan manusia menjadi penderitaan Allah. Peran umat sebagai upaya
berteologi sosial dalam konteks penderitaan harus mempertimbangkan ketiga hal
ini yaitu iman, pertobatan dan solidaritas/advokasi. Dan di atas semua itu,
teologi sosial sedemikian haruslah praksis dengan kontemplasi yang mendalam
tentang solidaritas Allah.
Pustaka
Banawiratma, J. B. dan J. Muller, Berteologi Sosial Lintas Ilmu,Yogyakarta: Kanisius, 1993
Bauckham, Richard, “Moltmann, Jurgen (b.
1926)” in The Dictionary of Historical
Theology, Trevor A. Hart (Ed.), Grand
Rapids: Eerdmans, 2000
Boonyakiat, S., “Suffering” in Global Dictionary of Theology, William
A. Dyrness, Veli-Matti Karkkainen (Ed.), Nottingham:
IVP, 2008
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka,
1998
Hurding, R. F., “Suffering” in New Dictionary of Christian Ethics &
Pastoral Theology, David J. Atkinson, et. al. (Ed.), Nottingham:
IVP, 1995
Robini, Johanes, Penderitaan dan Problem Ketuhanan, Yogyakarta:
Kanisius, 1998, hlm. 108
Yewangoe, A. A., Iman, Agama dan Masyarakat dalam Negara Pancasila, Jakarta: BPK GM, 2002
______________,
Theologia Crucis di Asia, Jakarta:
BPK GM, 2004
[1] J.
B. Banawiratma, J. Muller, Berteologi
Sosial Lintas Ilmu,Yogyakarta: Kanisius,
1993, hlm. 25-26
[2]
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus
Umum Bahasa Indonesia, Jakarta:
Balai Pustaka, 1998, hlm. 199
[3] S.
Boonyakiat, “Suffering” in Global
Dictionary of Theology, William A. Dyrness, Veli-Matti Karkkainen (Ed.), Nottingham: IVP, 2008, p. 857
[4] R.
F. Hurding, “Suffering” in New Dictionary
of Christian Ethics & Pastoral Theology, David J. Atkinson, et. al.
(Ed.), Nottingham: IVP, 1995, p. 823
[5]
A.A. Yewangoe, Theologia Crucis di Asia,
Jakarta: BPK
GM, 2004, hlm. 13
[6]
Bnd. S. Boonyakiat, Op.Cit., p. 857-858
[7]
Yaitu penghancuran inti kehidupan Yahudi di pusat Eropa oleh Nazi di bahwa
pimpinan Adolf Hitler yang menewaskan kira-kira sepertiga jumlah orang Yahudi.
[8] Ibid., p. 858
[9] Ibid., p. 858
[10]
Konsep ini mirip dengan konsep penderitaan dalam Budhisme yang ditemukan dalam
Tiga Karakter Keberadaan yang terdiri dari Status Tidak Permanen (aniccata), Status penderitaan (dukkhata) dan Status Tidak Ber-ada (anatta). Budha menekankan bahwa setiap
hal tidak kekal, tidak statis dan tidak stabil yang menyebabkan penderitaan.
[11] Ibid., p. 859-860
[12]
Johanes Robini, Penderitaan dan Problem
Ketuhanan, Yogyakarta: Kanisius, 1998,
hlm. 108
[13] S. Boonyakiat, Op.Cit.,
p. 861
[14] Ibid., hlm. 861-862
[15]
Theodice berarti pembenaran terhadap perbuatan-perbuatan Allah.orang percaya
bahwa bagaimanapun setiap tindakan Allah, baik menguntungkan maupun merugikan,
pasti mempunyai makna bagi kehidupan manusia dan dunia ini. A. A. Yewangoe, Iman, Agama dan Masyarakat dalam Negara
Pancasila, Jakarta:
BPK GM, 2002, hlm. 114
[16]
Richard Bauckham, “Moltmann, Jurgen (b. 1926)” in The Dictionary of Historical Theology, Trevor A. Hart (Ed.), Grand Rapids: Eerdmans,
2000, p. 377
[17] Ibid., hlm. 861
[18]
Bnd. A.A. Yewangoe, Theologia Crucis di
Asia, Op.Cit., hlm. 85-98
[19] Ibid., hlm.112-115
[20] Ibid., hlm. 121-122
[21]
Bnd. S. Boonyakiat, Op.Cit., p. 863
[22]
Bnd. Ibid., p. 862-863
[23]
Bnd. Ibid., p. 863
[24] A. A. Yewangoe, Theologia Crucis di Asia, Op.Cit., hlm. 125
Tidak ada komentar:
Posting Komentar