Rabu, 09 Mei 2012

Berteologi dalam Konteks Penderitaan


Pendahuluan
            Teologi yang operatif adalah teologi yang aplikatif, dan teologi yang aplikatif itu adalah teologi yang memperhatikan konteks dan berusaha menjawab konteks itu; tidak hanya secara teoritis, tetapi lebih ke praksis. Tapi bagaimanapun praksis dikerjakan, hal itu tidaklah terlepas dari landasan teoritis apa yang telah dibangun. Tanpa usaha menjawab konteks berteologi, maka berteologi hanya menjadi teologi di atas awan yang mengambang.
            Salah satu konteks kehidupan manusia adalah penderitaan. Penderitaan sebagai realita hidup berdunia adalah aspek yang juga harus dijawab oleh teologi, dan dalam hal ini teologi sosial hendak menjawab konteks penderitaan tersebut.

Pengertian Teologi Sosial
            Pengertian teologi sosial mempunyai pengertian dalam dua macam, yang pertama yaitu dalam arti luas dan dalam arti sempit.
Teologi sosial dalam arti luas yaitu sebagai semacam teologi fundamental di mana teologi sosial merupakan orientasi seluruh teologi dan bukan merupakan bagiaan atau cabang teologi tertentu. Karena teologi selalu harus berbicara berhadapan dengan masyarakat, maka seluruh usaha teologi harus mempunyai ciri sosial atau kontekstual, agar dapat dimengerti secara lebih jelas dank arena itu lebih berfungsi bagi gereja. Dalam arti luas, teologi sosial kita mengerti sebagai dimensi, arus, arah dasar, orientasi atau cakrawala seluruh usaha refleksi teologis.
Teologi sosial dalam arti sempit yaitu sebagai teologi khusus tentang keterlibatan umat dalam menghadapi umat dalam masalah-masalah masyarakat. Dan yang menjadi perhatian kita dalam teologi sosial adalah dalam arti sempit ini.[1]


Pengertian Penderitaan Sebagai Locus Teologi Sosial
            Menurut KUBI, penderitaan berasal dari kata derita yaitu sesuatu yang ditanggung di hati (seperti kegersangan, kesusahan). Penderitaan cenderung dikaitkan dengan menderita yakni menanggung sesuatu yang tidak menyenangkan. Penderitaan adalah proses atau cara menderita dan juga penanggungan terhadap diri seseorang manusia.[2]
Penderitaan adalah sebuah pengalaman universal manusia, sesuatu yang tidak diingini oleh manusia dari semua umur, ras, status dan agama.[3] Penderitaan atau menderita dapat digunakan dalam pengertian ‘mengalami’ dan ‘memikul’ sehingga penderitaan adalah pengalaman penderitaan atau kesengsaraan yang di dalamnya keberadaan/manusia sadar tentang perampasan maksud atau fungsi mereka.[4] Penderitaan adalah sebuah pengalaman atau sebuah hal yang dipikul yaitu perampasan tujuan atau peran mereka baik oleh orang lain maupun oleh keberadaannya sendiri secara eksistensi maupun aksen-aksennya.
John Hick sebagaimana dikutip A.A. Yewangoe memahami penderitaan sebagai keadaan mental, keadaan pikiran yang sangat mengharapkan atau tergila-gila bahwa situasi adalah sebaliknya, kemampuan untuk membayangkan alternatif-alternatifnya dan (dalam diri manusia) kesadaran moral.[5] Hal itu berarti jika sesuatu dianggap sebagai penderitaan, maka kita berharap bahwa orang tersebut amat ingin mengubah situasinya sehari-hari, berjuang untuk menemukan alternatif-alternatif baru yang memampukan dia melarikan diri dari sesuatu yang menghancurkan.
            Dalam seluruh sejarah, khususnya dunia barat, realitas penderitaaan telah menjadi hal yang sering dilihat sebagai argument terkuat melawan eksistensi pribadi Allah Kekristenan yang maha kuasa dan maha kasih. Mengapa? Karena kecenderungan yang terjadi sejauh ini adalah jawaban-jawaban teoritis yang menyediakan bantuan yang kecil, dan ironisnya kadang-kadang menambah penderitaan yang lebih besar untuk yang mengalaminya. Karena itu, teologi sosial dalam hal ini tidak boleh hanya berkutat dalam pertanyaan, “mengapa penderitaan terjadi?” sementara mengabaikan pertanyaan yang lebih penting: “bagaimana seharusnya seseorang merespons realitas penderitaan?” Untuk alasan ini, sebuah teologi penderitaan (teologi sosial dalam konteks penderitaan) harus mempertimbangkan adegan-adegan yang berbeda dari penderitaan manusia dan berusaha menjawab kedua pertanyaan tentang masalah penderitaan itu.[6]
Sejarah menunjukkan bahwa Holocaust[7] bukanlah satu-satunya saksi bagi realitas yang radikal dari penderitaan manusia. Kita tahu bahwa di abad ini sendiri, jutaan orang menderita dan mati di bawah para pemimpin politik yang brutal dan tidak manusiawi di dalam dunia ini. Lebih jauh, kira-kira 1,5 milyar orang sekarang hidup dalam kemiskinan. Setiap tahun, 40 juta orang meninggal karena kelaparan dan 14 milyar anak-anak meninggal sebagian besar karena penyakit di Eropa dan Amerika Utara. Karena itu, penderitaan memerlukan sebuah respons teologi yang menanganinya secara serius-hal ni bukan hanya sebuah latihan akademis atau sebatas pengalamatan sejenis penderitaan khusus belaka tanpa memperhatikan keberagamannya.[8]
           
Bentuk-bentuk Penderitaan
            Kita harus mengakui bahwa masalah penderitaan adalah nyata dan kompleks. Alkitab sendiri menggunakaan banyak kata-kata yang berbeda untuk mengungkapkan ide ini, misalnya, kesusahan, kesedihan, kesulitan, tekanan, kesakitan, masalah dan kesengsaraan.
            Kompleksitas ini terlihat dalam bentuk-bentuknya, yaitu:
1. Dari segi targetnya : individual, komunitas, negara, regional atau keseluruhan manusia.
2. Dari segi caranya mempengaruhi manusia : secara fisik maupun secara nonfisik.
Penderitaan secara fisik terutama mempengaruhi tubuh orang atau komunitas, contohnya penyakit fisik, ketidakmampuan fisik, kelaparan, kehausan, penyakit dan kematian. Penderitaan nonfisik terutama mempengaruhi  keberadaan batiniah manusia secara intelektual, secara emosional, secara psikologis maupun secara spiritual. Hal itu dinyatakan konflik, kecemasan, depresi, kekecewaan, ketertinggalan, rasa malu, rasa bersalah dan selanjutnya. Namun, tipe penderitaan ini secara dekat dihubungkan karena manusia terdiri dari baik dimensi fisik maupun nonfisik. Tak perlu dipertanyakan bahwa penderitaan mempengaruhi seseorang secara holistik.
3. Dari segi tingkat intensitasnya : bisa ditarik mulai dari penderitaan pribadi yang kecil sampai penderitaan regional atau global yang hebat yang disebabkan oleh kemiskinan, kebutahurufan, mati kelaparan, polusi lingkungan, penyakit alami, tekanan, perang, terorisme dan AIDS.[9]

Penyebab Penderitaan
            “Mengapa penderitaan terjadi?” merupakan pertanyaan pertama kita tadi. Dan inilah barangkali yang merupakan pertanyaan umum bagi banyak orang yang menderita. Ada empat penyebab utama penderitaan, yaitu:
1. Penderitaan sebagai hasil dari dosa
            Hal ini berdasarkan cerita penciptaan dan kejatuhan ke dalam dosa. Kondisi “sungguh amat baik” (Kej. 1:31) telah berubah. Penderitaan pertama tampak dalam Kejadian 3. ketika dosa memasuki dunia melalui ketidaktaatan manusia (Kej. 3:6-7), penderitaan juga masuk dalam bentuk konflik, kesakitan, keburukan moral, kerja keras dan kematian (Kej. 3:15-19). Karenanya, penderitaan adalah sebuah kekacauan ke dalam dunia ini.
2. Penderitaan adalah bagian dari ciptaan
            Banyak teolog berpendapat bahwa cerita penciptaan juga menyatakan beberapa bentuk penderitaan adalah bagian dari aturan yang diciptakan. Hal itu adalah maksud Allah dan kondisi manusia. Dalam God and Human Suffering, Douglas John Hall menunjukkan paling sedikit empat bentuk penderitaan telah ada dalam dunia ini sejak penciptaan: kesendirian (bnd. Adam dalam Kej. 2:18), keterbatasan (mengetahui yang baik dan jahat), pencobaan dan kecemasan (penyebab Hawa menuruti si pencoba).[10]
3. Penderitaan adalah hasil dari tekanan
            Banyak jenis penderitaan disebabkan oleh tekanan, eksploitasi atau siksaan. Dengan kata lain, penderitaan seseorang bisa disebabkan dari dosa orang lain-kepentingan diri sendiri, pengabaian, kebencian dan kekejaman. Contoh : kemiskinan bisa disebabkan sistem yang bergantung pada beberapa kelas sosial.
4. Penderitaan adalah sebuah misteri
            Walaupun penderitaan dapat ditemukan dalam sumber-sumber berbeda, beberapa manifestasi penderitaan secara sederhana tidak berarti dan tidak dapat dijelaskan, contohnya penyakit yang mengambil nyawa bayi dan penyakit alami yang secara hebat menyerang sejumlah orang. Tsunami di Aceh merupakan contoh yang dekat.[11]

Respons Allah Terhadap Penderitaan: Allah yang Solider dan Menderita
            Penderitaan dilihat sebagai sesuatu yang secara langsung dan tidak langsung memiliki kaitan dengan Tuhan. Dengan begitu, penderitaan dapat membuat orang menerima atau berontak terhadap Allah.[12] Pertanyaan tentang bagaimana respons Allah terhadap penderitaan manusia adalah penting sebab berkaitan dengan apa tindakan Allah bagi penderitaan manusia. Respons Allah itu dinyatakan dalam karya-Nya yang menopang dan menebus bagi manusia dan keseluruhan ciptaan. Berlawanan dengan pembangkangan manusia yang memimpin pada ciptaan yang menyimpang dan penderitaan manusia (Mzm. 104; Kol. 1:7; Ibr. 1:3). Hal itu melalui kemahakuasaan dan pemeliharaan-Nya sehingga dunia tetap ada. Dalam kediaman Allah, dia masih bekerja di dalam dan melalui ciptaan-Nya. Kejadian 3:15, kisah Nuh, pemilihan Abraham, pembebasan Israel dari Mesir secara jelas menyatakan rencana penebusan-Nya bagi semua manusia.
            Respons yang paling signifikan ditemukan dalam Yesus Kristus, secara khusus penderitaan dan kematian-Nya di kayu salib. Melalui Kristus, Allah berintervensi dalam ciptaan untuk berpartisipasi dalam penderitaan manusia, juga untuk menyelamatkan manusia dan seluruh ciptaan. Pertama sekali, Dia menempatkan dirinya di antara manusia ketika Dia “menjadi daging dan tinggal di antara kita” (Yoh. 1:14). Sebagai manusia, Yesus benar-benar berbagi keterbatasan dan penderitaan yang merupakan bagian hidup manusia, namun dia tidak berdosa (Mat. 4:2-11; Yoh. 11:33-35; Ibr. 4:15). Selama pelayanan-Nya di bumi, Yesus selalu merespons orang yang menderita. Dia menyembuhkan orang buta, orang sakit, orang lumpuh dan mereka yang menderita karena penyakit lain dan kerasukan (contoh Mat. 8:14-17; 9:27-34; 12:9-13). Dia memanggil mereka yang dianggap “pendosa” untuk mengikut Dia dan Dia tinggal di antara mereka (Mat.9:9-11; Mrk. 2:13-17; Luk. 19:1-10). Di kayu salib, Allah melalui Yesus Kristus berbagi penderitaan dengan manusia untuk memulihkan kita dari dosa dan konsekuensinya. Hal ini sungguh adalah makna baru dari penderitaan. Kebangkitan dan kemuliaan Kristus setelah Dia menderita dan mati juga menyatakan bahwa keadilan pada akhirnya akan dilakukan. Di tengah-tengah penderitaan yang tidak terselami dan tidak adil, orang percaya diyakinkan bahwa mereka akan dibangkitkan dari kematian dan berbagi kemuliaan Kristus (1 Tes. 4:13-18).[13]
            Respons Allah sedemikian menunjukkan bahwa Dia solider atas manusia dan apa yang dialaminya. Bahkan lebih dari itu, Dia berpartisipasi dalam penderitaan manusia, turut ambil bagian, merasakan dan justru menebus  manusia dari penderitaan manusia.

Konsep Teolog Sosial tentang Konteks Penderitaan
1. Jorgen Moltmann
            Moltmann dalam The Crucified God berpendapat bahwa Allah menyatakan diri-Nya sendiri pada manusia melalui penderitaan dan salib, bukan lewat kuasa dan kemuliaan. Kristus mati di atas salib dan menangis, “Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan aku?” Bagi Moltmann, tangisan karena ditinggalkan ini bukanlah akhir dari teologi, tetapi lebih adalah permulaan dari sebuah teologi yang benar-benar Kristus-sebuah teologi pembebasan yang membuat pengalaman Yesus tentang Allah di kayu salib menjadi fondasi semua gagasan tentang Allah. Di kayu salib, Allah tidak hanya telah berkarya secara eksternal, tetapi Dia telah bertindak dalam diri-Nya sendiri dan telah menderita di dalam diri-Nya sendiri. Karena itu Kristus yang disalibkan memanifestasikan penderitaan Allah sendiri. Dapat dikatakan bahwa Anak menderita dalam keadaan ditinggalkan tetapi Bapa menderita karena kematian Anak, dan jika Allah menganggap diri-Nya sebagai Bapa Yesus Kristus, kemudian Dia juga menderita karena kematian keBapaan-Nya dalam kematian Yesus Kristus.
            Kematian Yesus Kristus ini menyatakan bahwa tidak ada penderitaan yang tidak merupakan penderitaan Allah; tidak ada kematian yang tidak menjadi kematian Allah di atas kayu salib; tidak ada hidup dan sukacita yang tidak terintegrasi dalam kehidupan dan sukacita kekal dari Allah. Manusia yang menderita tanpa alasan selalu merasa ditinggalkan Allah. Bagaimanapun, siapapun yang menangis pada Allah dalam penderitaan ini ikut dalam tangisan kematian Yesus, dan pada waktu yang sama Allah sedang menangis bersamanya. Allah menderita di dalam kita.[14]
            Baginya, masalah theodice[15] tidak dapat diselesaikan tetapi membutuhkan sebuah keterbukaan dialektikal dari teologi tentang penderitaan dunia sampai janji kebangkitan dipenuhi dalam eskatologi masa depan, ketika Allah pada akhirnya membawa keseluruhan ciptaan-Nya melampaui kejahatan dan penderitaan serta kematian.[16]

2. Martin Luther
            Bagi Luther dalam konsep theologia crucisnya, penderitaan dilihat sebagai hal yang olehnya manusia dibawa pada Allah. Dalam hal ini, Luther memperkenalkan dialektika antara opus alienum Dei (karya Allah yang bertentangan) dan opus proprium Dei (karya Allah yang sebenarnya). Opus alienum Dei mengacu pada “memberantas, membunuh, mengambil harapan dan memimpin pada keputus-asaan” dan opus proprium Dei mengacu pada “mengampuni, berbelas kasihan, menguatkan dan menyelamatkan”. Kedua karya ini dihasilkan dari Allah kasih yang sama, dan opus propriumm Dei diselubungi dalam opus alienum Dei, dan terjadi bersamaan. Di kayu salib, Yesus menderita demi kita dan Dia mengemban dosa kita supaya kita dapat memiliki kebenaran-Nya. Ketika orang tidak beriman hanya melihat keadaan tak berdaya dan putus asa dari seorang yang mati di kayu salib, orang percaya mengenal kehadiran dan karya Allah yang tersalib dan tersembunyi yang hadir dalam penderitaan manusia dan secara aktif bekerja melaluinya.[17]

3. Vengal Chakkarai
            Bagi Chakkarai, penderitaan tidak boleh serta merta dikaitkan dengan dosa, terutama sebagai sumber penderitaan. Teolog India ini menyatakan bahwa salib menduduki tempat utama dalam kehidupan dan pekerjaan Yesus, sehingga penderitaan dan kematian Yesus sang avatar (penjelmaan), menempati tempat utama dalam kehidupan-Nya yang secara misterius diungkapkan-Nya kepada para murid-murid-Nya saja. Yesus sendiri memahami penderitaan dan kematian-Nya sebagai tuntutan ilahi (Mrk. 8:31; Luk. 32:22). Yesus memasuki penderitaan-Nya secara sukarela dan sadar, tapi mengalaminya dalam keengganan dan rasa takut mengerikan. Ia menolak penderitaan, bergumul dengannya dan melawannya, bahkan juga pada salib.
            Alkitab sendiri, penuh dengan gagasan tentang Allah yang menderita, misalnya dalam Yes. 63:9, 10 dikatakan bahwa dalam segala kesusahan dan kesedihan, Allah sendiri menyelamatkan Israel. Allah sendiri menderita karena Yesus yang menderita di kayu salib adalah avatar Allah.
            Terhadap masalah sosial, Yesus tidak lain daripada Raja kedukaan yang merasakan penderitaan manusia yang mendalam dengan hati dan pikiran-Nya. Dalam menghadapi masalah-masalah sosial, Chakkarai berusaha mengungkapkan secara konkret siapakah Yesus Kristus dalam hidup-Nya (Avatar) dan karya-Nya (salib). Menurutnya gereja adalah kesatuan dengan Tuhan yang hidup untuk “tindakan sosial”. Gereja, bukanlah suatu lembaga yang sibuk hanya dengan dogma-dogma dan tata gereja, tetapi sebaliknya adalah tempat kehidupan dan kesaksian rohani dapat berlangsung.[18]

4. M. M. Thomas
            Kaum awam India yang berminat pada teologi ini mendasarkan teologi penderitaannya dari puisi meditatifnya atas kelaparan hebat di Shertallay (November 1941) sesuai Mazmur 73. Dalam puisi ini dia melukiskan Allah itu baik. Namun, ia tidak mengerti mengapa Allah ini  membiarkan kejahatan menyentuh dunia. Thomas tidak mengerti, mengapa Allah yang baik ini membiarkan kejahatan yang mengerikan menyentuh anak-anak yang tidak bersalah, dan ibu mereka yang kelaparan. Di manakah Allah? Apakah Allah yang sudah lebih dulu mengetahui semuanya tidak dapat menghindarinya? Lalu apa artinya providential Dei? Apakah masih ada gunanya percaya kepada Allah ini yang membiarkan kejahatan terjadi? Situasi ini tampaknya tak punya harapan. Semuanya gelap dan sunyi. Namun, di tengah-tengah situasi yang tidak tertolong ini, masih ada pengahrapan. Thomas melihat dari kejauhan cahaya yang berkelap-kelip, suatu tanda pengharapan yang menembus kesunyian yang mendalam. Ya, baginya inilah tanda kehidupan, namun kehidupan itu belumlah dibebaskan dari masalah-masalah dan air matanya. Itu adalah Kristus sendiri. Yesus mengidentifikasikan diri-Nya dengan orang-orang yang menderita. Ia menangis dengan mereka yang menangis. Yesus disalibkan dalam kematian orang-orang ini.
            Baginya, cukuplah Kristus disalibkan melalui penderitaan-penderitaan dan kesengsaraan orang-orang ini (baca: korban kelaparan itu). Ia tidak boleh disalibkan kembali oleh rasa sangsi akan identifikasi-Nya dengan para korban. Thomas menyadari kesalahannya karena mengira Allah tidak punya urusan apapun dengan bencana kelaparan itu. Baginya, Kristus yang menderita ini tidak lain daripada Allah sendiri.[19]

5. S. J. Samartha
            Konsep penderitaannya merupakan penolakan atas konsep awidya (ketidaksadaran) sebagai proses karma-samkara (penderitaan terjadi karena dosa manusia). Konsep penderitaan baginya tidak hanya dipandang dari perspektif keadilan, tetapi dari juga dari perspektif kasih. Spiritualitas sejati terletak dalam penderitaan demi kasih. Benih kehidupan dari pohon kehidupan Kristus adalah kemampuan untuk menemukan kekuatan melalui penderitaan. Penderitaan diterima dan digunakan untuk menggenapi maksud kasih. Hukum kasih ini dilambangkan dalam salib dan kebangkitan Yesus, yang melaluinya ada pengharapan.[20]

            Masih banyak teolog yang mencoba menjawab teologi tentang penderitaan, misalnya teologi minjung, teologi penderitaan Jepang, dll. Namun, tampaknya konsep yang lahir dalam menghadap penderitaan ini memang berfokus pada pekerjaan Allah di dalam Yesus Kristus yang solider atas penderitaan manusia.

Tugas  Teologi Sosial dalam Konteks Penderitaan
            Penderitaan yang dipahami sebagai suatu keadaan tergila-gila terhadap keadaan yang sebaliknya terjadi secara realitas, merupakan keadaan yang perlu dijawab. Penderitaan dialami dan dirasakan, tetapi juga kadang tidak disadari justru karena penderitaan telah mengambil porsi yang terlalu lama dan berat dalam kehidupan manusia.
            Konsep teologi sosial yang berpusat pada Allah yang solider, peduli terhadap manusia yang menderita menimbulkan pertanyaan tentang mengapa Allah membiarkan penderitaan terjadi dalam diri manusia. Dalam hal ini terdapat sebuah dilemma yang dialektis, yang sering dijembatani oleh konsep theodice, penderitaan diijinkan oleh Allah supaya manusia terutama semakin mendekat kepada-Nya; ini adalah konsep perohanian penderitaan.
            Bagaimana teologi sosial dalam pengertian sempit yaitu bagaimana umat terlibat dalam melihat dan bertindak terhadap penderitaan?
            Pertama-tama harus dikatakan bahwa penderitaan tidak dapat secara membabi-buta disebut disebabkan oleh dosa. Karena hal itu tidak selalu sesuai dengan realita. Implikasi negatifnya bahwa tugas teologi sosial bisa saja mengajak orang tersebut supaya mengaku dosa dan bertobat, padahal tidak benar itu diakibatkan oleh dosa. Karena itu, tugas teologi sosial tidaklah mencoba mendefinisikan apa penyebab penderitaan secara kasualistik agar umat tidak menjadi seperti teman-teman Ayub yang menyuruhnya bertobat dan istri Ayub yang justru menyuruhnya untuk berpaling meninggalkan Allah. Tetapi kita juga harus waspada, bahwa penderitaan juga bisa disebabkan oleh dosa sehingga memerlukan pertobatan. Untuk kasus ini teologi sosial mendorong pertobatan: itu tugas yang pertama.[21]
            Kedua, kita perlu mempertimbangkan konsep theodice sebab kemahakuasaan Allah mengijinkan manusia untuk mengalami penderitaan itu adalah dengan sebuah maksud tertentu. Maksud itu bersifat misterius, namun paling tidak bisa dikatakan bahwa Allah merencanakan sesuatu yang baik di balik derita itu. Sekali lagi, penderitaan bisa menempatkan manusia pada sebuah krisis: setia atau meninggalkan Tuhan. Karena itu, teologis sosial harus berperan dalam mendorong iman yang setia dalam menghadapi misteri itu. Bagi orang percaya, respons ini penting, meskipun iman tidak memberikan penjelasan untuk masalah penderitaan, tetapi justru karena iman menolong mereka menanggulangi penderitaan itu. Iman ini tidak menuntut pengabaian perasaan kita ketika datang pada Allah. Seorang yang menderita dapat secara jujur protes dan mengeluh pada Tuhan mereka. Faktanya, tangisan Yesus di kayu salib menggemakan keluh-kesah dari umat-Nya dalam Mzm. 22. bahkan ketika hal itu dipenuhi dengan kemarahan dan protes, tangisan kita tidak menghancurkan iman dan harapan kita tetapi membawa kita lebih dekat pada Allah.[22] Teologi sosial sedemikian justru menghargai kemanusiaan sebagaimana seharusnya. Unsur perasaan kemanusiaan dari penderitaan tidak diabaikan, karena pengabaian sedemikian adalah pengingkaran terhadap kemanusiaan.
            Ketiga, solidaritas Yesus bahwa Dia datang ke dunia, bertindak dan merasakan penderitaan manusia, di mana Dia menjadikan penderitaan manusia sebagai penderitaan-Nya menunjukkan bahwa Allah bersimpati atas manusia. Dia adalah Allah yang menderita. Karenanya, situasi penderitaan orang lain memanggil solidaritas umat. Respons ini tidak hanya meniru pelayanan Kristus di masa lalu tetapi kesinambungan pelayanan Yesus-Nya dalam dunia. Hal ini tidak menanyakan, “Apa yang akan Yesus lakukan dalam situasi ini?” yang mengimplikasikan ketidakhadiran-Nya dari situasi sekarang ini, tetapi menanyakan, “Apa yang Yesus sedang lakukan dalam situasi ini dan apa yang saya lakukan sebagai seorang Kristen?” Setelah kematian-Nya, Yesus menjanjikan kedatangan Roh Kudus atas pengikut-Nya sebagai sebuah kontinuitas pelayanan-Nya di bumi. Karena itu karya penebusan Krists masih berlanjut dalam situasi kini dalam hidup orang percaya. Secara lebih spesifik, orang-orang percaya dipanggil untuk berpartisipasi dalam pelayanan advokasi atau paraklesis. Kata “advokasi” datang dari kata Yunani parakletos yang secara harfiah berarti “dipanggil ke sisi”. Kata ini menunjukkan “sebuah peran menghibur, menasihati dan menguatkan.” Yesus melanjutkan peran-Nya sebagai advokat dalam situasi kontemporer kita melalui kehadiran dan karya Roh Kudus. Untuk berpartisipasi dalam penderitaan orang lain, secara konsekuen, adalah menjadi advokat mereka dan memampukan mereka untuk mengalami kehadiran dan kuasa Kristus bersama mereka dalam kebutuhan dan pergumulan mereka,[23] dengan memperhatikan seluruh bentuk dan aspek penderitaan mereka.
            Stanley Samartha melihat peran ini demikian, “Bila orang-orang Kristen mengaku bahwa bahkan sampai hari ini, setiap kali seseorang menderita, seolah-olah mereka merasakan siksaan Kristus pada salib, maka hal itu harus dibuktikan dalam tindakan, bukan lewat pernyataan.”[24]
           
Kesimpulan
            Masalah penderitaan adalah masalah kompleks dan luas. Menghadapinya dalam teologi sosial berarti melihat peran umat dalam menghadapi penderitaan, baik penderitaannya sendiri maupun penderitaan orang lain. Upaya berteologi sosial dalam konteks penderitaan melihat sentralitas solidaritas Allah dalam Yesus Kristus atas penderitaan manusia, bahwa (mengikuti bahasa Choan Seng Song) Allah turut menderita, penderitaan manusia menjadi penderitaan Allah. Peran umat sebagai upaya berteologi sosial dalam konteks penderitaan harus mempertimbangkan ketiga hal ini yaitu iman, pertobatan dan solidaritas/advokasi. Dan di atas semua itu, teologi sosial sedemikian haruslah praksis dengan kontemplasi yang mendalam tentang solidaritas Allah.

Pustaka
Banawiratma, J. B. dan J. Muller, Berteologi Sosial Lintas Ilmu,Yogyakarta: Kanisius, 1993
Bauckham, Richard, “Moltmann, Jurgen (b. 1926)” in The Dictionary of Historical Theology, Trevor A. Hart (Ed.), Grand Rapids: Eerdmans, 2000
Boonyakiat, S., “Suffering” in Global Dictionary of Theology, William A. Dyrness, Veli-Matti Karkkainen (Ed.), Nottingham: IVP, 2008
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1998
Hurding, R. F., “Suffering” in New Dictionary of Christian Ethics & Pastoral Theology, David J. Atkinson, et. al. (Ed.), Nottingham: IVP, 1995
Robini, Johanes, Penderitaan dan Problem Ketuhanan, Yogyakarta: Kanisius, 1998, hlm. 108 
Yewangoe, A. A., Iman, Agama dan Masyarakat dalam Negara Pancasila, Jakarta: BPK GM, 2002
______________, Theologia Crucis di Asia, Jakarta: BPK GM, 2004



[1] J. B. Banawiratma, J. Muller, Berteologi Sosial Lintas Ilmu,Yogyakarta: Kanisius, 1993, hlm. 25-26
[2] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1998, hlm. 199
[3] S. Boonyakiat, “Suffering” in Global Dictionary of Theology, William A. Dyrness, Veli-Matti Karkkainen (Ed.), Nottingham: IVP, 2008, p. 857
[4] R. F. Hurding, “Suffering” in New Dictionary of Christian Ethics & Pastoral Theology, David J. Atkinson, et. al. (Ed.), Nottingham: IVP, 1995, p. 823
[5] A.A. Yewangoe, Theologia Crucis di Asia, Jakarta: BPK GM, 2004, hlm. 13
[6] Bnd. S. Boonyakiat, Op.Cit., p. 857-858
[7] Yaitu penghancuran inti kehidupan Yahudi di pusat Eropa oleh Nazi di bahwa pimpinan Adolf Hitler yang menewaskan kira-kira sepertiga jumlah orang Yahudi.
[8] Ibid., p. 858
[9] Ibid., p. 858
[10] Konsep ini mirip dengan konsep penderitaan dalam Budhisme yang ditemukan dalam Tiga Karakter Keberadaan yang terdiri dari Status Tidak Permanen (aniccata), Status penderitaan (dukkhata) dan Status Tidak Ber-ada (anatta). Budha menekankan bahwa setiap hal tidak kekal, tidak statis dan tidak stabil yang menyebabkan penderitaan.
[11] Ibid., p. 859-860
[12] Johanes Robini, Penderitaan dan Problem Ketuhanan, Yogyakarta: Kanisius, 1998, hlm. 108 
[13] S. Boonyakiat, Op.Cit., p. 861
[14] Ibid., hlm. 861-862
[15] Theodice berarti pembenaran terhadap perbuatan-perbuatan Allah.orang percaya bahwa bagaimanapun setiap tindakan Allah, baik menguntungkan maupun merugikan, pasti mempunyai makna bagi kehidupan manusia dan dunia ini. A. A. Yewangoe, Iman, Agama dan Masyarakat dalam Negara Pancasila, Jakarta: BPK GM, 2002, hlm. 114
[16] Richard Bauckham, “Moltmann, Jurgen (b. 1926)” in The Dictionary of Historical Theology, Trevor A. Hart (Ed.), Grand Rapids: Eerdmans, 2000, p. 377
[17] Ibid., hlm. 861
[18] Bnd. A.A. Yewangoe, Theologia Crucis di Asia, Op.Cit., hlm. 85-98
[19] Ibid., hlm.112-115
[20] Ibid., hlm. 121-122
[21] Bnd. S. Boonyakiat, Op.Cit., p. 863
[22] Bnd. Ibid., p. 862-863
[23] Bnd. Ibid., p. 863            
[24] A. A. Yewangoe, Theologia Crucis di Asia, Op.Cit., hlm. 125

Tidak ada komentar:

Posting Komentar