Selasa, 08 Mei 2012

YOUTH MEETING ON HIV AIDS AND LEADERSHIP CONSULTANT ON HIV-AIDS ASPIRASI DAN HARAPAN PEMUDA GEREJA-GEREJA LUTHERAN TERHADAP GEREJA[1]

Kecenderungan manusia yang menghakimi membuat orang-orang yang menderita semakin tertekan.[2] Orang-orang yang menderita sangat membutuhkan tempat, sahabat, bahkan penyembuhan (bebas) dalam dirinya. Orang yang menderita penyakit secara khusus HIV AIDS selain tekanan yang datang dari jenis virus HIV-AIDS, ternyata juga mendapat tekanan yang cukup besar dari sudut Sosiologis, Psikologis, Ekonomi, Politis sebab mereka dihindari dan diasingkan dari tengah-tengah masyarakat karena ketidaktahuan masyarakat (secara khsusus jemaat) akan penyakit HIV-AIDS. Padahal bagi ODHA sendiri bahwa sentuhan (touching) dan rangkulan (embracing) adalah awal kesembuhan dan pintu sorga bagi mereka. Orang percaya adalah hanya orang yang mampu membawa orang sakit kepada Yesus untuk kesembuhan.
Pemuda yang masa usia produktif sangat potesial menjadi korban HIV-AIDS. Namun pemuda juga potensial menjadi pemberi solusi dalam penanganan HIV-AIDS. Untuk itu, yang menjadi tugas gereja bagaimana gereja mampu membenahi pemuda dari keseluruhan aspek. Bagaimana membuat mereka menjadi anak muda yang menjadi sesama manusia terhadap konteks (sesama manusia terhadap penderitas HIV/AIDS).
Harapan pemuda yang diutus oleh ke-12 gereja dan STT dalam Pertemuan dan Konsultasi Kepemimpinan dengan topik HIV/AIDS (06-08 November 2011) terhadap gereja:
  1. Hendaknya Gereja menjadi pembebas: Gereja diharapkan menjadi Gereja yang peduli terhadap HIV/AIDS melalui usaha-usaha penerangan atau penyuluhan terhadap pemuda tentang HIV/AIDS. Sehingga pemuda terbebas dari ketidaktauan tentang HIV/AIDS, terbebas dari ancaman HIV/AIDS. Gereja hendaknya mampu menjawab atau memberikan solusi atas penderitaan jemaat.
  2. Gereja harus menciptakan suasana kekeluargaan, keluarga Tuhan. Gereja selalu memaknai “Tubuh Kristus”, yang adalah gereja itu adalah orang-orang (jemaat itu sendiri. Oleh karena itu bila ada jemaat yang menderita maka itu juga adalah penderitaan setiap orang yang disebut jemaat bahkan pelayan sendiri (pendeta atau majelis gereja). Orang-orang yang menderita HIV AIDS (ODHA) juga bagian dari jemaat yang juga adalah penderitaan kita bersama. Jika demikian, barulah kita bisa mengatakan bahwa kita adalah tubuh Kristus. Tubuh Kristus yang dimaknai sebagai ”Family Dei” atau Keluarga Allah. Bagaimana dari rasa kekeluargaan itu mampu melahirkan kesediaan memahami, menerima, menyentuh (menjamah), bahkan menganggap bahwa orang yang menderita HIV/AIDS itu bagian dari diri kita bersama. Seharusnya Gereja tidak menghakimi, tidak menjauhi / mengasingkan tetapi gereja mampu merangkul (memeluk) sehingga mereka mendapatkan rasa aman dan merasa diterima dalam sosisal masyarakat.
  3. Gereja sangat sarat dengan Hukum Siasat Gereja. Gereja cenderung menjadikan Hukum siasat gereja bahkan Hukum Taurat menjadi alat untuk menghakimi jemaat (secara khusus orang yang menderita HIV AIDS, atau penyakit lainnya). Memang Hukum itu sangat perlu, tetapi Hukum bukan hanya sebagai legitimasi kekudusan Gereja melainkan sebagai terang juga. Gereja hendaknya  menjadikan hukum itu menjadi lampu (terang) yang melahirkan berkat bagi semua situasi. Sebab penderita butuh gereja sebagai pembimbing menuju terang itu.
  4. Gereja harus berada dalam ”belas kasih” yang terwujud dalam aksi (pelayanan yang real). Gereja dipanggil untuk bertindak. Gereja Tidak hanya berkhotbah tetapi saatnya kini untuk mengaplikasikan slogan-slogan yang disuarakan melalui khotbah-khotbah itu. Kiranya Gereja bukan justru meningggalkan orang-orang yang menderita HIV AIDS, tetapi gereja mampu bertindak ”menjemput bola”, melihat, mendangar, dan berikan solusi atas penderitaan jemaat (orang-orang yang menderita HIV AIDS). Penderitaan orang-orang yang menderita HIV AIDS semakin berat dikarenakan tekanan, tindakan pengasingan yang dilakukan oleh orang-orang disekelilingnya. Tidak lagi penting untuk bertanya pada orang-orang yang menderita HIV AIDS ”Apa yang sudah kau lakukan, mengapa bisa begitu terjadi padamu?”, tetapi berikanlah solusi dan penyembuhan kepada mereka.
  5. Pemimpin Gereja hendaknya mempunyai pemahaman yang luas mengenai HIV /AIDS agar sosialisasinya tepat sasaran.
  6. Theologi[3] dan Misi Gereja itu lahir dari konteks dimana gereja itu berada. Theologi itu sendiri adalah masalah keselamatan jadi ODHA juga adalah orang yang layak dan berhak memperoleh keselamatan (anugerah Allah). Sudah saatnya gereja mempunyai visi/misi untuk menyelamatkan para korban HIV / AIDS. Berikanlah ”grace and salvation” kepada orang-orang yang menderita. Gereja harus ”survive” bagi ODHA.  
  7. Gereja diharapkan tidak menunggu bola, tetapi menjemput bola. Gereja harus bergerak melakukan pendekatan terhadap penderita HIV AIDS agar mereka tidak merasa di asingkan. Gereja harus mampu menopang penderita dari segi psikologis, sosial, rohani sehingga penderita memiliki percaya diri. Gereja bukan hanya melakukan pelayanan ritual di dalam gedung tetapi pelayanan gereja itu bersifat holistik. ”Keselamatan untuk semua orang termasuk yang menderita HIV AIDS”.
  8. Hendaknya setiap Gereja (jemaat yang dipimpin) membentuk wadah atau komite HIV AIDS dan memberdayakan pemuda-pemudi untuk mengatasi pencegahan dan penanggulangan HIV AIDS. Bahkan Gereja sudah sangat perlu memberikan pengajaran (kurikulum) tentang Seks dan penyakit-penyakit yang berkembang seperti HIV AIDS terhadap pemuda-pemudi, misalnya membentuk kurikulum Katekisasi Sidi tentang Seks dan penyuluhan (seminar) tentang Seks dan HIV AIDS. Pemberdayaan orang-orang yang terkena HIV AIDS (ODHA) dalam pelayanan dalam rangka membongkar pemahaman warga jemaat yang menyimpang, mengasingkan orang-orang yang menderita.

Dengan demikian: kami pemuda-pemudi siap dipakai oleh Gereja untuk melakukan aksi untuk menanggulangi HIV AIDS dengan cara:

  1. Bersedia menjadi volunteer (sukarela) maupun fasilitator;
  2. Membentuk jaringan komunikasi sebagai wadah pemuda-pemudi dalam rangka partisipasi penanganan HIV AIDS.
  3. Menggalang dana untuk proses penyembuhan;
  4. Membuat wadah pemuda untuk forum HIV /AIDS;
  5. Mengabdikan diri sebagai pelaku preventive, treatment dan advokasi;
  6. Membuat Katekisasi (Modul Pengajaran) untuk dua belas Gereja Lutheran yang ada di Indonesia; dan
  7. Mengadakan kampanye  HIV / AIDS melalui kegiatan KKR,



[1] Berdasarkan konsultasi pemuda-pemudi 12 Gereja Lutheran, yang dilaksanakan di Retreat Center GBKP, Sukamakmur. Yang menjadi delegasi dari pertemuan Konsultasi Pemuda-pemudi yaitu Alter Pernando Siahaan, Liner Mersia Sihombing, dan Meylena Sibagariang.

[2] Dasar Theologis, bisa dibaca dari Mazmur 55: 1-23. Bagaimana Pemazmur yang tertekan bisa berubah menjadi mampu menyanyikan Mazmur 23 dan Mazmur 40. itulah yang harus kita lakukan sebagai bagian dari Gereja. Bandingkan juga dengan Markus 1: 4-45; 1 Korintus 12: 27; 1 Korintus 12: 26.

[3] Thema-thema Theologi untuk penanganan HIV AIDS yang diperoleh dari Konsultasi Pemuda-pemudi Gereja Lutheran yaitu Theologi Kekeluargaan (berangkat dari pemahaman tubuh Kristus bahwa kita adalah satu keluarga), Theologi Lintas Budaya (berangkat dari pemahaman bahwa virus HIV AIDS itu tidak beragama, tidak kenal budaya, tidak kenal tempat, dan tidak kenal marga, demikian Theologi yang menjadi berita Injil yang harus mampu menjadi kesembuhan bagi semua orang termasuk yang menderita penyakit HIV AIDS), Theologi Belas Kasihan (Berangkat dari pemahaman bahwa pelayanan Gereja harus memiliki belas kasihan), dan Bermuara pada Theologi Aksi (setiap pelayanan gereja harus memuat aksi pelayanan itu sendiri yang mengarah kepada orang-orang yang berbeban berat, yang sakit, dan tertindas termasuk ODHA yaitu orang yang menderita HIV AIDS).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar