Rabu, 09 Mei 2012

Teologi Paulus Tentang Kematian dan Kebangkitan


Pendahuluan
            Kematian adalah sebuah fenomena yang alami bagi manusia, tapi tidak dengan kebangkitan. Hampir setiap hari kita melihat kematian sebagai sebuah wacana realitas dari kehidupan, bahwa kehidupan diakhiri dengan sesuatu yang namanya kematian. Bagaimana dengan kebangkitan? Hal itu adalah biasa, biasa bukan karena itu terjadi secara massif dalam hidup manusia, tapi karena sering diperbincangkan terutama dalam kekristenan. Bahkan menjadi sebuah pengharapan yang hampir pasti akan menihilkan kekristenan jika hal itu diboikot.
      Memaknai kematian dan kebangkitan berarti memahami hal yang fundamental dalam kekristenan. Sebagai salah seorang peletak dasar teologi Kristen melalui tulisan-tulisannya, maka kita akan membahas teologi Paulus tentang kematian dan kebangkitan.

Kematian
            Dalam penggunaan Alkitabiah, kematian memiliki empat makna utama, yaitu:
  1. Kematian fisik, umumnya menunjukkan perhentian fungsi tubuh yang tidak dapat dicegah (2 Sam. 14:14; Rm. 6:23; Ibr. 9:27) tetapi adakalanya pelemahan kuasa fisik secara berangsur-angsur (2 Kor. 4:12, 16).
  2. Kematian spiritual, menggambarkan pengasingan alami manusia dari Allah, kurang mau mendengarkan Allah, atau permusuhan dengan Allah, karena dosa (Kej. 2:17; Mat. 8:22; Yoh. 5:24-25; 8:21, 24; Rm. 6:23; Ef. 2:1; Yak. 5:20; Yud. 12; Why. 3:1).
  3. ‘Kematian kedua’, menunjukkan pemisahan secara permanen dari Allah sebagai nasib bagi orang yang tidak benar (Mat. 10:28; Why. 2:11; 20:6, 14-15; 21:8).
  4. Mati kepada dosa, melibatkan penyingkiran semua hubungan dengan dosa yang dihasilkan dari hidup pada Allah melalui kematian dan kebangkitan dengan Kristus (Rm. 6:4, 6, 11).
Melalui ketetapan Allah, kematian fisik dan spiritual adalah konsekuensi dan akhir dari dosa (Yeh. 18:4, 20; Rm. 5:12; 6:23; 7:13; Ef. 2:1, 5) dan merupakan hal yang umum bagi manusia karena semua telah berdosa (Yos. 23:14; 1 Raj. 2:2; Pkh. 9:5; Rm. 5:12; Ibr. 9:27). Laki-laki dan perempuan diciptakan tidak unable to die tetapi able to die, walaupun setelah kejatuhan kematian menjadi sebuah keadaan biologis yang universal.  Allah tidak senang akan kematian (bahkan kematian orang jahat, Yeh. 18:23).[1]

Konsep Kematian dalam Perjanjian Lama
            Dalam sebagian besar PL, kematian memimpin kepada sebuah bayangan, keadaan insubstansial dalam dunia bawah, yang disebut sheol/syeol. Di sana, semua diturunkan pada kondisi tidak beraktivitas, dengan tidak ada prospek kemajuan atau pelarian (Ay. 3:17-20; 7:9; 17:16). Secara khusus, penghuni dunia bawah diputuskan dari Tuhan dan tidak dapat lagi mempersembahkan pujian atau permohonan: “dalam kematian tidak ada kenangan tentang Engkau; dalam Sheol siapa yang akan memujimu?” (Mzm. 6:6 (penerjemah) (bnd. Mzm. 88:5). Sedikit teks mengimplikasikan bahwa dunia bawah tidak tersembunyi dari Tuhan (Ay. 26:6; Mzm. 139:8). Kematian digambarkan bervariasi- contohnya, sebagai seorang musuh yang menjerat mangsanya (Mzm. 18:6; 116:3) dan sebuah pelahap manusia yang tidak pernah puas (Ams. 1:20; 27:20).[2]
            Dalam bahasa Ibrani kata yang digunakan untuk mengacu pada kematian adalah mawet, muncul 160 kali yang menyangkut keenam hal ini:
  1. Kematian secara umum dan/atau sebagai yang berlawanan dengan kehidupan. PL mempertentangkan kehidupan dan kematian sebagai satu-satunya opsi utama (Ul. 30:19; 2 Sam. 15:21; Ams. 18:21; Yer. 21:8), sering kali membicarakan eksistensi manusia sebagai sebuah jalan yang memimpin pada sesuatu atau yang lain (Ams.14:12; 16:25; Yer. 21:8). Setiap orang memiliki “hari kematiannya” (Pkh. 7:1; 8:8), karena itu tidak terelakkan untuk semua orang (Bil. 16:19; Yeh. 18:32), untuk orang benar (Bil. 23:10); orang jahat (Yeh. 18:23; 28:10; 33:11), dan orang bodoh juga (2 Sam. 3:33).
  2. Kematian sebagai ganjaran untuk orang jahat. Karena kelakuan yang berdosa, orang layak untuk mati (di bawah hukuman kematian; Ul. 19:6; 21:22; Yer. 26:11, 16). Beberapa dosa secara khusus pantas untuk kematian (Ul. 22:26), menyatakan bahwa yang lain tidak demikian, paling sedikit secara tiba-tiba. Contoh: istilah ben mawet, 'is mawet tidak pernah diberikan pada orang benar.
  3. Sikap terhadap kematian. Kematian adalah misterius dan menakutkan, secara eufemistis (melembutkan) disebut tidur (Mzm. 13:3(4)). Mereka yang membenci Allah dikatakan mencintai kematian (Ams. 8:36). Prospek tentang kematian membangkitkan perasaan teror (Mzm. 55:4(5)), panik (1 Sam. 5:11), dan kebencian (1 Sam. 15:32; Pkh. 7:26).
  4. Kematian sebagai sebuah tempat. Tempat orang mati dinyatakan sebagai kematian, yang paralel dengan syeol dan abaddon. Itu adalah tempat yang berdebu (Mzm. 22:15(16)), satu tempat dengan banyak ruang (Ams. 7:27).
  5. Kematian sebagai personifikasi. Itu sering dipersonifikasi dan dilihat sebagai suatu musuh kemanusiaan yang kuat (Kid. 8:6). Dia mampu membunuh (Yer. 18:21), baik oleh dirinya mapun oleh penyakit parah (Ay. 18:13). Dia dapat memanjat melalui jendela dalam pencarian terhadap kehidupan yang tidak menaruh kasihan (Yer. 9:20(21)) dan dia meliputi korbannya seperti gelombang laut (2 Sam.22:5).
  6. Kemenangan atas kematian. Manusia seharusnya mati, tetapi ada harapan bahwa mereka dapat ditebus (g’l) dari kematian (Hos. 13:14). Mereka dapat ditebus bahkan dari ancaman atau prospeknya (Ay.5:20). Secara utama dan ironis kematian sendiri akan ditelan sebagai sebuah tanda dari kemahakuasaan Allah (Yes. 25:8).
Sebagai sebuah konsep dalam PL, kematian secara keseluruhan dipandang sebagai istilah yang negatif atau paling sedikit terhentinya kehidupan. Dia misterius, persangkaan, dipenuhi dengan ketidakpastian, dan tabiat yang tidak terelakkan dan universal. Itu adalah perluasan logis dari kelemahan dan penyakit, penyakit akhir (Mzm. 88:11(12); Yes. 38:18). Secara fenomenologis, kematian manusia adalah seperti kematian binatang (Mzm. 104:29). Nafas kehidupan (atau roh) berakhir dan kembali kepada Pencipta sedangkan tubuh ditaruh ke tanah untuk membusuk dan kembali mendebu (Kej.35:18-20). Sekaligus, ada harapan bahwa kehidupan tidak berakhir dengan kematian atau bahkan melebihi kematian, tetapi bahwa itu memberi jalan untuk pembaharuan hidup, kepada kekekalan (Mzm. 16:10-11; bnd. 49:15(16)), dan bahkan ke kebangkitan (Dan. 12:2).[3]

Konsep Kematian dalam Perjanjian Baru
Istilah-istilah yang Digunakan
                Dalam PB sebagai literatur klasik, terdapat beragam kata yang digunakan untuk menggambarkan kematian dan mati- sebagai kejadian-kejadian yang mengingatkan manusia bahwa kehidupan adalah sesuatu yang berakhir yang tidak dapat dikendalikan. Selain kata qanatoς thanatos (kematian), ada istilah lain yang secara asli memiliki makna yang cukup berbeda. Tidur (upnoς hypnos) yang dini dipakai sebagai sebuah eufemisme untuk kematian dan mati bahkan digunakan lebih banyak dalam zaman Kristen. Istilah lain yang berhubungan adalah kaqeudw katheudo (tidur), dan koimomai koimaomai (tertidur). Yang menyatakan tidak bernyawa, sebuah hal mayat atau benda tak bernyawa, yaitu nekroς nekros (yang mati). teleutaw teleutao berarti berakhir, selesai dan karena itu mati, apokteinw apokteino (membunuh) mengindikasikan sebuah pemadaman kehidupan secara keras.[4]

Pemakaian Istilah dan Latar Belakang Konteks
Sebagaimana yang disebutkan di atas, istilah-istilah yang digunakan dalam PB dan pemakaiannya adalah sebagai berikut:
1. apokteinw (apokteino) dan teleutaw (teleutao)
                apokteino (membunuh), ditemukan 150 kali dalam LXX, yang mengacu pada kata Ibrani harag (membunuh) dan mut (mati). Itu dapat mengacu pada pembunuhan (Kej. 4:8 yaitu Kain), eksekusi hukum (Kel. 32:27), atau membawa massa untuk membunuh dalam perang suci (Bil. 31:7; 1 Sam. 15:3). Juga terdapat dalam nubuat profetis tentang penghakiman (Amos 4:10; 9:1; Yeh. 23:10).
            Dalam PB terdapat 74 kali, khususnya sering di keempat Injil dan Wahyu (15 kali); hanya 5 kali dalam surat Paulus. Dalam ayat-ayat ini kata kerja ini hampir selalu mengacu pada pembunuhan utusan Allah secara keras, baik dalam narasi langsung (Mat. 14:5; 1 Tes 2:15), perumpamaan (Mrk. 12:5), atau profetis mengacu pada para murid (Mat. 24:90).
            teleutao terdapat 70 kali dalam LXX, digunakan untuk mengacu pada mut (Ibr.), mati, hampir selalu dalam makna berakhir, berakhirnya kehidupan seseorang.
            Dalam PB teleutao terdapat 11 kali, 3 di antaranya dikutip dari PL (Mat.15:4; Mrk. 7:10; 9:48). Kata kerja ini mengacu pada orang yang mati yang kemudian dibangkitkan oleh Yesus (Mat. 9:8; Yoh. 11:39). Juga digunakan untuk kematian Herodes (Mat.2:19), dll.
2. qanatoς (thanatos)
                Kata yang dominan untuk mati dalam PB adalah apothnesko (thanatos). Dalam dunia Helenistik, thanatos (kematian), thanatoo (membunuh), thnesko (mati) dan apethnesko (mati) digunakan secara metaforis tentang kematian intelektual dan kematian spiritual.
            Bagi orang Yunani, kematian berarti akhir dari aktivitas hidup, penutupan jangka waktu, pengrusakan eksistensi, bahkan jika shade (jiwa) menemukan sebuah tempat dalam alam kematian. Kematian adalah takdir umum manusia. Realisasi kematian yang tidak dapat dielakkan menemukan konsekuensinya dalam pencarian untuk menikmati kehidupan secara penuh.[5] Ada ajakan untuk tidak melewatkan kesenangan pada masa hidup.
            Bagi mereka juga, kematian adalah sebuah bagian hidup sebagai sebuah tindakan dari prestasi manusia. Penting untuk mati dengan mulia, berjuang dengan semangat tanpa takut mati. Disebut prestasi jika nama orang mati dihormati oleh yang hidup, terutama jika dia mati atas nama kota (polis). Plato memandang orang demikian mampu berjumpa dengan kematian, mengalihkan kematian dalam sebuah prestasi manusia. Kaum Stoiks memandang serupa, manusia yang mengatasi kematian dan ketakutannya adalah orang yang benar-benar mati, kesiapan bebas untuk mati setelah hidup yang bernilai mengalihkan kematian ke dalam prestasi manusia.
            Terdapat kepercayaan tentang imortalitas (kekekalan) jiwa, terutama oleh mistisisme Orphis dan Pythagorean. Dalam kematian jiwa dibebaskan dari tubuh, yang kekal dari yang tidak kekal, kebahagiaan dari penderitaan. Pandangan ini pada masa Helenistik menyebar luas. Bagi Stoaisme jiwa individual bergabung dengan jiwa universal ilahi. Gnostisisme menekankan dualisme kosmis yang berlawanan: jiwa dan badan. Pembebasan jiwa dari tubuh adalah kemenangan atas kematian.
            Dengan kondisi demikian pada masa Helenistik, secara kuat gagasan dualistik mulai menemukan jalan mereka pada Yudaisme dengan perluasan yang lebih besar atau lebih kecil. Jiwa menjadi dianggap tidak kekal (Keb.3:4 4:1; 15:3), eksistensi tidak bertubuh mulai secara tiba-tiba setelah kematian (4 Mak. 16:13; 17:12). Para martir Yahudi juga melihat kematian mereka sebuah pekerjaan heroik, mulia serta bernilai (4 Mak. 10:1; 2 Mak. 6:31). Philo menggambarkan tubuh sebagai sebuah “teman yang jahat dan mati”, kematian adalah tindakan pembebasan. Yosephus mendorong orang Yahudi untk memilih kematian daripada menyerah pada orang Roma. Jika mustahil hidup dengan kemuliaan, seseorang harus mati dengan mati.
            Dalam PB thanatos (kematian) ditemukan kira-kira 120 kali: di kitab Injil sebagian besar merujuk pada kematian Yesus; dalam Paulus terutama tentang kematian manusia. Pandangan PB tentang kematian secara langsung berkesinambungan dengan pandangan Yahudi kuno.[6] Manusia hidup dalam bayang-bayang kematian (Mat. 4:16; Yes. 9:1). Manusia harus hidup dalam ketakutan terhadap kematian (Ibr. 2:15).[7] Setan dianggap sebagai yang memiliki kuasa atas kematian (Ibr. 2:14), walaupun tentu saja Allah sendiri yang dapat menghancurkan tubuh dan jiwa dalam neraka (Mat. 10:28; Why. 2:23). Dalam Injil keempat, kematian dan kehidupan juga realitas eksistensi sekarang, tergantung pada bagaimana manusia merespons Jesus sebagai krisis ilahi dari eksistensinya (Yoh. 5:24; 8:51; 11:25). Dalam PB, kematian tidak dianggap sebagai proses alami, tetapi sebagai sebuah kejadian historis, yang secara jelas menandai kondisi berdosa manusia. Dalam pengertian historis kematian dilihat sebagai sebuah kuasa yang memperbudakk manusia dalam hidup (Ibr. 2:15).[8]
3. kaqeudw (katheudo), koimomai (kaimaomai) dan upnoς hypnos  (tidur)
            katheudo artinya tidur; kaimaomai artinya berbaring, tenggelam dalam tidur, bisa berarti tidur alami atau bagi yang akan mati; hypnos menyatakan tidur alami, membuatny lupa beban hari, tidak aktif dan tubuh kelihatan tidak bernyawa. Dari ketiga kata ini hanya kaimaomai yang sering digunakan berkaitan dengan kematian dalam PB, yaitu sebanyak 15 kali. Dalam 1 Kor. 7:39; 15:6, 51 kaimaomai digunakan sebagai sebua hal yang ekuivalen pasti dengan mati (bnd. Kis. 7:60; 13:36; 2 Pet. 3:4). Dalam Yoh. 11:11-14, juga digunakan dalam kematian Lazarus yang Yesus sebut sebagai tidur tapi salah dipahami oleh para murid. Sementara kata katheudo hanya digunakan sekali untuk mengacu pada kematian yaitu dalam 1 Tes. 5:10.[9]
4. nekroς (nekros)
                nekros (Yunani klasik) awalnya hanya digunakan untuk tubuh manusia atau hewan yang mati, artinya tidak berhubungan dengan jiwa.
            Kaum Stoa memahaminya demikian: nekros tidak dikontrol oleh psyche-jiwa atau nous-akal, atau roh; nekros adalah bagian fisik manusia; nekros tidak sesuai dengan standar penghakiman seseorang, tetapi ditentukan oleh nous. Tidak ada kecuali kesadaran tentang hakiki yang paling tinggi yaitu nous yang layak digambarkan sebagai yang hidup.
            Dalam LXX nekros ditemukan 60 kali yang disamakan dengan met (Ibr. Seorang yang mati) yang tidak digabungkan dengan psyche (jiwa). Philo sendiri mengadopsi pandangan Stoa.
            Dalam PB nekros ditemukan 130 kali yang artinya mati (kata sifat) dan orang mati (kata benda). Penggunaan kata ini dalam PB berbeda dengan penggunaan Yunani dan PL. Dalam PB status kematian tidak lagi sebuah status final bagi manusia. Itu harus dilihat dalam terang kebangkitan Yesus. Kematian telah dikalahkan oleh Yesus.[10]   

Konsep Teologi Paulus Tentang Kematian
            Kematian thanatos (juga kata apothnesko, thanatoo, apokteino, anaireo) bisa mengacu pada penghentian kehidupan duniawi dan fisik manusia. Lebih sering hal itu menunjukkan kondisi rohani-fisik manusia “di dalam Adam”, yang datang melalui dosa Adam (Rm. 5:12-21; 1 Kor. 15:21-22). Kematian, daging, dan dosa dapat Paulus gunakan dalam hubungan yang dekat, khususnya dalam Roma 5-7, di mana terlihat dalam narasi Paulus tentang hidup dalam Adam dan hidup dalam Kristus. Kematian dan dosa berkarya bersama, dengan kematian datang melalui dosa (Rm. 5:12). Dengan kedatangan Hukum Taurat, dosa meningkat (Rm. 5:20), menutup kehidupan (Rm. 7:5) dan berkuasa dalam kematian (Rm. 5:21). Kemanusiaan diperbudak oleh dosa dan kematian (Rm. 6:6, 9, 12, 14, 16, 18, 20). Paulus tidak membicarakan tentang pemisahan kekal dari Allah dan hukuman final sebagai “kematian” sebagaimana dalam Why. 21:8), tetapi dia tampak memikirkannya ketika mengacu pada kematian sebagai upah dosa yang utama (Rm. 6:23). Dalam Ef. 2:1, 5 dan Kol. 2:13 Paulus menyatakan orang-orang percaya sebagai yang dahulu “mati” dalam kemanusiaan berdosa yang tidak tertolong dan membutuhkan inisiatif anugerah Allah (Ef. 2:8) dalam keselamatan.
            Kematian adalah “musuh terakhir” (1 Kor. 15:26), yang pada penyempurnaan akan ditelan dalam kemenangan akhir Yesus (1 Kor. 15:55-57; tetapi bandingkan 2 Tim. 1:10). Lagi, personifikasi kematian adalah jelas, Paulus dalam 1 Kor. 15:25-26 mendaftarkan kematian sebagai salah satu musuh dalam Mzm. 110:1, dan dalam 1 Kor. 15:54-55 mengejek kuasa kematian (bnd. Yes. 25:7; Hos. 13:14).
            Paulus juga menggunakan konsep kematian dengan cara yang berbeda. Untuk dibebaskan dari dominasi “tabiat lama” dan dari kuasa maut, seseorang harus mati terhadap dosa. Ini menjadi mungkin melalui kematian Kristus, yang di dalamnya orang percaya berpartisipasi (Rm. 6:8-10). Pada waktu yang sama Paulus menyebut tindakan sadar, “memperhitungkan” atau “mempertimbangkan” seseorang “mati terhadap dosa” dan “hidup bagi Allah” (Rm. 6:11), “menyerahkan dirimu pada Allah” sebagai yang telah dibebaskan dari kematian (Rm. 6:13) sehingga hidup baru dalam Kristus bisa memiliki pengaruhnya yang penuh (Rm. 8:1-17).[11] Paulus ingin agar pembacanya yakin bahwa pada saat kematian, mereka tidak akan dipisahkan dari Kristus (Rm. 8:38-39).[12]
            Bagi Paulus, “sengat” kematian adalah dosa, yang kuasanya terletak dalam Torah (1 Kor. 15:56). Kematian adalah hukuman untuk dosa yang telah manusia perbuat; pendosa “layak untuk mati” (Rm. 1:32). Paulus juga mengatakan bahwa dosa membayar hutangnya dengan kematian (Rm. 6:16, 23).[13] Demikianlah, kematian adalah kuasa yang menguasai diri manusia, dan pada perluasannya sebuah realitas masa kini. Kematian “rohani” dan kematian “fisik”, secara tidak terelakkan terjalin bersama, merupakan realitas hidp dalam dosa. Hal ini memimpin orang berdosa menangis “Siapakah yang akan melepaskan aku dari tubuh maut ini?” (Rm. 7:24). Tetapi jika kematian dianggap sebagai konsekuensi dosa manusia, gabungan “alami” kematian manusia dengan yang terdapat dalam ciptaan yang lain melahirkan pertanyaan mengapa makhluk hidup non-manusia juga mengalami kefanaan. Atas pertanyaan ini Paulus, dalam garis Judaisme kontemporer menjawab bahwa “ciptaan” tidak mengalaminya dari kehendaknya, tetapi sebagai sebuah hasil dari dosa manusia, pada kesia-siaan dan ketidakpermanenan. Sekarang dia menanti untuk dibebaskan dari kematian,  bersama dengan “anak-anak Allah” (Rm. 8:19-22). Paulus menganggap kematian bukan sebagai fenomena “alami”, tetapi sebagai fenomena historis.[14]

Konsep Paulus Tentang Sikap Menghadapi Kematian
            Paulus mempunyai pandangan yang optimis terhadap kematian jasmani. Ia percaya melalui Kristus, kematian telah kehilangan sengatnya (1 Kor. 15:55-56). Paulus tidak lagi memandang kematian sebagai musuh yang perlu ditakuti, tetapi malah sebagai titik transisi menuju semacam kehiiupan yang lebih penuh. Pengalamannya sendiri memperlihatkan keyakinannya. Ia sering diancam maut (1 Kor. 15:31; 2 Kor. 1:8; 11:23 dst),[15] tapi ia tidak takut. Ia maju terus dalam pelayanannya.
            Bagi Paulus sendiri sebagai sesuatu yang harus dihadapi oleh manusia, maka kematian baginya adalah keuntungan (Flp. 1:21). Mengapa? Karena baginya hidup adalah Kristus dan mati serta diam bersama-sama dengan Kristus adalah jauh lebih baik (Flp. 1:21, 23). Mati tidak hanya keuntungan, tapi jauh lebih baik. Mati baginya berarti “diam bersama-sama dengan Kristus”.[16]                     

Kebangkitan
Konsep Kebangkitan dalam Perjanjian Lama
            Dalam PL, kebangkitan seseorang dari kematian dinyatakan paling sedikit sebanyak 8 kali (Ay. 19:26; Mzm. 17:15; 49:15; 73:24; Yes. 26:19; 53:10-12; Dan. 12:2, 14).[17]
            Beberapa pernyataan PL menyatakan kebangkitan dalam pengertian pemeliharaan hukum bukan kondisi setelah mati dari individu (bnd. Hos. 6:1-3; 13:14; Yeh. 37:1-4) dalam pengertian pembebasan dari kematian (pembuangan) kepada kehidupan (restorasi nasional).
            Pertanyaan mendasar dinyatakan dalam Ay. 14:14 “jika manusia mati, dapatkah ia hidup lagi?” jawabannya adalah bahwa Allah adalah “Penebus” dan pembebasan itu adalah kondisi setelah mati, yang merupakan sebuah pengakuan tentang kepercayaan terhadap hidup setelah kematian (Ay. 19:25-27). Pernyataan yang sama terdapat juga dalam Mazmur (49:15; 16:10; 73:24) yang didasarkan atas keyakinan akan kuasa Allah terhadap kematian. Nabi-nabi juga menambahkan kepercayaan terhadap kebangkitan (mis. Yes. 25:8; 26:19). Hal ini berklimaks dalam Dan. 12:1-3, 13. “Dan banyak dari antara orang-orang yang telah tidur di dalam debu tanah, akan bangun, sebagian untuk mendapat hidup yang kekal, sebagian untuk mengalami kehinaan dan kengerian yang kekal” (Dan. 12:2); “tetapi engkau... bangkit untuk mendapat bagianmu...” (Dan. 12:13).[18]
            Walaupun PL cenderung melihat kehadiran Allah dalam kehidupan sehari-hari, namun dia tidak diam terhadap isu kebangkitan sebagai kebangkitan individu yaitu kehidupan setelah kematian. Dalam babak selanjutnya dalam masa intertestamental, konsep kebangkitan mengalami kemajuan.

Konsep Umum Kebangkitan dalam Perjanjian Baru
            Ada 5 jenis kebangkitan yang dapat dibedakan dalam penggunaan PB, yaitu:
1.kebangkitan fisik yang lalu dari orang-orang tertentu kepada kehidupan fana yang diperbaharui (Luk. 7:14-15; Yoh. 11:43-44; Ibr. 11:35);
2. kebangkitan tubuh Kristus yang lalu kepada imortalitas (Rm. 6:9)
3. kebangkitan rohani yang lalu dari orang-orang percaya kepadda kehidupan baru dalam Kristus (Kol. 2:12);
4. kebangkitan orang percaya di masa depan kepada imortalitas (2 Kor. 15:42, 52)
5. kebangkitan pribadi orang-orang tidak percaya di masa depan untuk penghukuman (Yoh. 5:29; Kis. 24:15).
            Kebangkitan adalah pembangkitan orang-orang oleh Allah dari hakikat kematian kepada kehidupan yang baru dan tidak berakhir dalam kehadiran-Nya, di mana kebangkitan Kristus adalah janji dan paradigma dari kebangkitan tubuh orang-orang percaya (1 Kor. 6:14; 15:20, 23, 48-49; Kol. 1:18).
            Hanya sedikit karakter kebangkitan tubuh yang disebutkan dalam Alkitab. Kebangkitan adalah dari Allah (1 Kor. 15:38; 2 Kor. 5:1-2); “tubuh rohani” (1 Kor. 15:44, 46; bukan berarti hanya roh), bebas dari dosa dan tanpa naluri fisik (1 Kor. 15:42-43), bebas dari penyakit atau kekurangan, seperti-malaikat (Mrk. 12:25; Luk. 20:36), tanpa nafsu seksual dan kuasa prokreasi, dan tidak mati; itu surgawi (1 Kor. 15:40, 47-49). Yoh. 5:29 membedakan ‘kebangkitan yang memimpin kepada hidup’ dari ‘kebangkitan untuk penghukuman’.[19]

Konsep Teologi Paulus Tentang Kebangkitan
Terminologi Kebangkitan
                Ada beberapa kata yang berbeda yang digunakan untuk menggambarkan ide tentang kebangkitan dalam tulisan Paulus. Kata kerja anistemi anistemi (bangkit) digunakan 5 kali dengan acuan pada kebangkitan, baik kebangkitan Kristus (1 Tes. 4:14; bnd. Rm. 15:12) dan orang percaya (1 Tes. 4:16; Ef. 5:14). Kata kerja egeirw egeiro (membangkitkan) tampak 38 kali dengan acuan pada kebangkitan (Rm. 4:24, 25; 1 Tes. 1:10; 2 Tim. 2:8; dll); dan kata gabungan exegeirw exegeiro (membangkitkan) dipakai 1 kali mengacu pada kebangkitan orang percaya (2 Kor. 6:14). Kata anastasiς anastasis (kebangkitan) digunakan 8 kali (Rm. 1:4; 6:5; 1 Kor. 15:12, 13, 21, 42; Flp. 3:10; 2 Tim. 2:13) dan kata benda exanastasiς exanastasis (kebangkitan) terjadi sekali (Flp. 3:11).
            Beberapa ahli menganggap terdapat perbedaan makna dalam dua kelompok kata yaitu egeiro dan anistemi dalam tulisan Paulus. L. Coenen misalnya mengatakan, “egeiro digunakan untuk apa yang terjadi saat Paskah, yaitu kebangkitan Yang tersalib kepada kehidupan, sementara anistemi dan anastasis mengacu secara lebih spesifik pada penarikan kehidupan orang selama pelayanan Jesus di dunia.” Tetapi kadang pemakaiannya kadang kabur dan saling berganti (mis. 5:14; 1 Kor. 15:12-13 dan 15:42). Karena itu Paulus tidak bermaksud membedakannya, walaupun penggunaan egeiro mungkin lebih tradisional dan berhubungan dengan sumber dari Palestina.[20]

Latar Belakang Konsep
            Banyak ahli setuju bahwa doktrin kebangkitan tubuh adalah perkembangan terakhir dalam tulisan-tulisan Yudaisme. Yang pertama yaitu dalam PL (mis. Dan. 12:2 dan (mungkin) Yes. 26:19) sebagai kebangkitan tubuh dan yang lainnya yaitu kebangkitan nasional. Kebangkitan tubuh juga terdapat dalam teks apokrifa dan pseudepigrafa Yahudi termasuk 2 Makabe, 4 Ezra, 1 Henokh dan 2 Barukh. Ada juga anggapan, doktrin ini berasal dari Platonisme klasik yang menggambarkan kebangkitan spiritual atau transmigrasi jiwa. Sementara tulisan-tulisan Paulus untuk menyebutkan kebangkitan Kristus, ada indikasi bahwa ide itu adalah bagian dari kepercayaan dan harapan Yesus sendiri yang keempat Injil rekam (beberapa menolak hal itu diungkapkan dalam sumber ‘Q’). Paulus mungkin telah mengambil sentralitas kebangkitan sebagai sebuah ide teologis dari Yesus sendiri.
            Namun, hal ini juga berkaitan dengan keanggotaan Paulus dalam partai Farisi Yudaisme (Flp. 3:5; Kis. 23:6; 26:5). Dalam Kisah Para Rasul pertidaksetujuan antara Sadukki dan Farisi terhadap doktrin kebangkitan tubuh adalah tema menonjol (Kis. 4:2; 23:6-8; 24:21; bnd. Kis. 26:6; 28:20). Cukup beralasan jika Paulus menerima pandangan Farisi tentan kebangkitan dan memahami pertemuannya dengan Tuhan yang bangkit dalam terang hal itu.[21]

Konsep Paulus Tentang Kebangkitan
            Paulus menggambarkan kebangkitan sebagai “misteri” (mysterion) dalam 1 Kor. 15:51. Menurut L. J. Kreitzer misteri kebangkitan ini bisa dijelaskan dalam delapan bagian, yaitu:[22]
1. kebangkitan sebagai transformasi
            Hal ini adalah gambaran kebangkitan masa depan yang ditunggu oleh orang Kristen. Transformasi itu adalah “symporphizo” yaitu menjadi seperti Dia (Flp. 3:10). Dalam Flp. 3:21 bahasa transformasi hadir 2 kali: “Yesus Kristus akan mengubah (metaschematisei) tubuh kita yang rendah menjadi seperti (symmorphon) tubuh mulia-Nya”. Dalam 1 Kor. 15:51-52 transfomasi tampak dengan kata allagesometha (kita akan diubah) untuk menggambarkan apa yang dinantikan komunitas orang percaya dalam parousia. Transformasi ini akan terjadi pada semua orang percaya, tetapi tidak berarti bahwa semua akan dibangkitkan. Hanya semua yang telah matilah yang dibangkitkan; sementara yang masih hidup saat parousia transformasi itu cukup untuk menerima kekekalan. Tampaknya secara berlawanan, transformasi terjadi sekarang (2 Kor. 3:18)  dengan metamorphoumeta (kita sedang diubah). Tetapi Paulus sebagaimana pendapat E. E. Ellis menyatakan bahwa itu bukan dualisme, tetapi harus dipahami bahwa transformasi moral adalah proses sekarang, sementara transformasi kefanaan menerima kebangkitan tubuh terjadi saat parousia.
2. Kebangkitan Sebagai Ketidakrusakan (Incorruption)
            Dalam 1 Kor. 15 Paulus menggunakan sejumlah istilah dan gambaran yang berlawanan untuk menggambarkan hidup kebangkitan berbeda dari keberadaan sekarang: kebinasaan/ketidakbinasaan (42), kehinaan/kemuliaan (43); kelemahan/kuasa (43); tubuh fisik/tubuh rohani (44); manusia debu/manusia sorga (47-49). Ketidakbinasaan (aphtharsia/aphtartos) memiliki hubungan yang dekat dengan kebangkitan Yesus Kristus.
3. Kebangkitan sebagai Imortalitas
             Dalam 1 Kor. 15:53b-54 Paulus menggambarkannya sebagai tabiat fana (to thneton) yang mengambil imortalitas (kekekalan) (athanasia). Kebangkitan adalah hal yang mana orang Kristen memperoleh imortalitas, dan kematian “ditenggelamkan dalam kemenangan” (Yes. 25:8). Kebangkitan adalah sesuatu yang diterima sebagai harta masa depan saat parousia.
4. Kebangkitan dan Keagungan
            Terdapat hubungan yang dekat antara kebangkitan Yesus dari kematian dan keagungan-Nya pada tangan kanan Allah (Rm. 1:3-4; Flp. 2:9-11). Keagungan secara jelas diterima setelah kebangkitan (Rm. 8:34; Ef. 1:20; 2:6; Kol. 3:1).  Keagungan adalah konsekuensi tidak terelakkan dari kebangkitan. Paulus mengimplikasikan bahwa orang-orang percaya akan mengalami sebuah kenaikan fisik ke sorga pada parousia (1 Tes. 4:16-17).
5. Kebangkitan dan Pengagungan
            Paulus menggunakan bahasa pengagungan untuk menggambarkan implikasi kebangkitan Kristus untuk orang percaya. 1 Tes. 2:12 menggabungkan kerajaan Allah dan kemuliaan, sementara 2 Tes. 2:14 menyatukan panggilan Kristen dan pencapaian masa depan terhadap kemuliaan Yesus Kristus. “tubuh fana” (ta thena ta somata)dan “daging fana” (thnete sarx) dikatakan akhirnya dipermuliakan sebagai sebuah hasil dari kesatuan di antara Kristus dan gerejanya (Rm. 8:11-17; 2 Kor. 4:10-18).
6. Kebangkitan dan Hidup Kekal
            Hidup kekal (zoe aionios) terdapat dalam ayat-ayat mengenai hasil dari iman dalam Yesus Kristus (Rm. 5:21; 6:22-23; 1 Tim. 1:16; 6:12; Tit. 1:2; 3:7) dan dengan penghakiman final orang benar (Rm. 2:7). Penerimaan hidup kekal dalam kepenuhannya (kekekalan) adalah sesuatu di masa depan (di mana kebangkitan menjadi satu dimensi utama bagi hal itu).
7. Kebangkitan dan Persesuaian dengan Gambar Kristus
            Dalam 1 Kor. 15:49 pengharapan kebangkitan Kristen adalah “memakai rupa dari yang sorgawi”.
8. Kebangkitan dan Penebusan Tubuh
            Kebangkitan melibatkan penebusan tubuh fisik. Dalam Roma 8:23 Paulus menggambarkan akibat kebangkitan dalam istilah “penebusan tubuh kita (ten apolytrosin tou somatos hemon) (bnd. Juga Flp. 3:20-21).
            Kebangkitan tubuh ini harus disamakan seperti tubuh kebangkitan Yesus yaitu tubuh sorgawi. Kebangkitan Kristus dipandang sebagai “buah sulung” (1 Kor. 15:20,23) menjamin bahwa kebangkitan orang lain akan menyusul.[23] Paulus mengatakan bahwa ‘tubuh kita yang hina’ akan diubah ‘sehingga serupa dengan tubuh-Nya yang mulia (Flp. 3:21). Tubuh kebangkitan Yesus dalam beberapa hal sama seperti tubuh alamiah, tapi dalam beberapa hal lain berbeda. Pada beberapa peristiwa Dia dikenal dengan segera (Mat. 27:9; Yoh. 20:19; dll) tapi dalam peristiwa-peristiwa lain tidak (khususnya perjalanan ke Emaus). Ia muncul tiba-tiba di tengah-tengah murid-murid yang berkumpul dengan pintu tertutup (Yoh. 20:19); tapi sebaliknya Ia lenyap dari pandangan kedua orang di Emaus. Ia berbicara tentang diriNya memiliki ‘daging dan tulang’ (Luk. 24:39). Kadang-kadang Ia menikmati makanan (Luk. 24:41-43) kendati makanan jasmaniah bukanlah kebuthan bagi kehidupan di seberang kematian (bnd. 1 Kor. 6:13). Dan adalah jelas, bahwa Tuhan Yesus yang telah bangkit dapat menyesuaikan diri dengan batasan-batasan kehidupan jasmani seturut kehendak-Nya. Hal itu memberi kesan, bahwa apabila kita bangkit kita akan memiliki kemampuan yang sama.[24] Tubuh ini bersifat badani, tapi memiliki kuasa-kuasa baru dan ajaib yang berbeda dengan tubuh jasmani biasa, tetapi menembus batas-batas fisik.[25]

Konsep Paulus Tentang Kontinuitas Kematian dan Kebangkitan
            Kontinuitas kematian dan kebangkitan menjadi sebuah dilema yang mengkaitkan masalah tempat sementara orang-orang yang telah meninggal sebelum kebangkitan Kristus.
            Karena itu, ada beberapa pengertian tentang pandangan Paulus tentang hal ini, yaitu:
  1. orang-orang percaya sedang menunggu kebangkitan sebagai roh-roh yang tidak mempunyai tubuh, lalu pada saat itu mereka akan menerima tubuh-tubuh yang mulia dan kekal.[26]
  2. orang-orang percaya dalam keadaan sementara mempunyai tubuh “sementara” yang akan digantikan oleh tubuh kebangkitan yang mulia pada saat kedatangan Tuhan (kebangkitan 2 tahap).[27]
  3. Kebangkitan orang-orang percaya terjadi pada saat kematian mereka tetapi kebangkitan orang-orang tidak percaya terjadi hanya pada saat kedatangan Tuhan.[28]
  4. semua orang mati tetap tidak sadar sampai saat kebangkitan, pada saat itu mereka akan dibangkitkan dan menerima tubuh yang mulia.
            Pandangan yang keempat mengenai jiwa yang tidur baru-baru ini menerima dukungan kuat (khususnya dalam karya Cullmann). Paulus kadang-kadang menggunakan kata kerja koimaomai yang arti dasarnya tidur, tetapi masa intertestamental digunakan dalam pengertian kematian. Dalam I Kor. 11:30 dan 1 Tes. 4:13 menunjuk suatu keadaan tidur terus-menerus, yang dibedakan dengan tidur sesaat saja (juga dalam 1 Tes. 4:14-15).[29]
            Namun, tidak ada alasan menganggap bahwa Paulus percaya tentang suatu keadaan tidak sadar yang dimasuki orang-orang percaya saat kematiannya sehingga unsur jiwa yang tidur itu ditolak (bnd. Flp. 1:23; 2 Kor. 5:8). Cullmann menyatakan bahwa kesadaran akan waktu akan berbeda sesudah kematian, dan jika dia benar, kita tidak boleh menganggap adanya suatu tenggang waktu dalam arti biasa. Dari sudut pandang Allah, mungkin kebangkitan pada saat kedatangan Tuhan akan segera terjadi setelah kematian setiap orang percaya. Ini di luar pengalaman manusia.[30]

Kesimpulan
            Kematian tidak dapat dihindarkan, karena itu sekarang telah menjadi realitas historis, itu bukan sesuatu yang alami sebab sejak semula Allah tidak memaksudkan manusia mati. Dosa yang dilakukan manusia memang mengakibatkan kematian, tidak hanya secara spiritual dalam arti mengalami keterpisahan dengan Allah, tetapi juga secara fisik. Paulus melihat bahwa kematian telah mengalami kekalahan di dalam Kristus Yesus dan karena itu orang percaya akan dibangkitkan untuk hidup yang kekal di dalam kebangkitan yang telah dialami sekarang dan mengalami kepenuhannya di masa yang akan datang.



[1] M. J. Harris,  “death” in New Dictionary of Theology, Sinclair B. Ferguson and David F. Wright (ed.), Leicester: IVP, 1988, p. 188
[2] P. S. Johnston, “Afterlife” in Dictionary of Old Testament: Wisdom, Poetry and Writings, Tremper Longman III and Peter Enns (ed.), Nottingham: IVP, 2008, p. 5
[3] Eugene H. Merrill, “mwtin New International Dictionary of Old Testament Theology and Exegesis, Willem A. VanGemeren (Ed.), Carlisle: Paternosfer Press, 1997, p. 886-887  
[4] L. Coenen, “Death, Kill, Sleep: apokteino” in The New International Dictionary of New Theology Volume I, Colin Brown (ed.), Grand Rapids: Regency Reference Library, 1986, p. 429
[5] Paulus juga memberi komentar tentang cara hidup Yunani “mari kita makan dan minum, karena besok kita mati” (1 Kor. 15:32)
                [6] Tapi tidak berkesinambungan dengan Yudaisme.
                [7] Jika dalam Yudaisme kematian dilihat sebagai kematian individu dan kemungkinan merelativisasikan kematian dengan acuan bagi kelangsungan hidup sebuah komunitas, maka dalam PB hal ini berseberangan.
[8] W. Schmithals, “Death, Kill, Sleep: thanatos” in The New International Dictionary of New Theology Volume I, Colin Brown (ed.), Grand Rapids: Regency Reference Library, 1986, pp. 430-437
                [9] L. Coenen, Op.Cit., pp. 441-443
                [10] Ibid., pp.443-445
                [11] J. J. Scott, Jr., “Life and Death” in Dictionary of Paul and His Letters, Gerald F. Hawthorne, et.al. (Ed.), Leicester: IVP, 1993, p. 554
                [12] Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru 3, Lisda Tirtapraja Gamadhi, dkk (Terj.), Jakarta: BPK GM, 2006, hlm. 184
                [13]  Rudolf Bultmann, Theology of the New Testament Vol. 2, London: SCM Press, 1976, p. 246
                [14] W. Schmithals, Op.Cit., p. 436-437
                [15] Donald Guthrie, Op.Cit., hlm. 187
                [16] Bnd. T. Yakobs, Paulus: Hidup, Karya dan Teologinya, Yogyakarta: Kanisius-Jakarta: BPK GM, 1984, hlm. 296-297
                [17] M. J. Harris, “Resurrection, General” in Op.Cit., p. 581
                [18] G. R. Osborne, “Resurrection I: Gospels” in The IVP Dictionary of the New Testament, Daniel G. Reid (Ed.), Leicester: IVP, 2004, pp. 896-897
                [19] M. J. Harris, “Resurrection, General” in Op.Cit., pp. 581-582
                [20] L. Z. Kreitzer, “Ressurection II: Paul” in The IVP Dictionary of the New Testament, Daniel G. Reid (Ed.), Leicester: IVP, 2004, p. 914-915
                [21] Ibid., p. 914
                [22] Ibid., pp. 808-810
                [23] Donald Guthrie, Op.Cit., hlm. 177
                [24] L. L. Morris, “Bangkit, Kebangkitan” dalam Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, Broto Semedi (Terj.), H. A. Oppusunggu, dkk. (ed.), Jakarta: YKBK, 2008, hlm. 148
                [25] George Eldon Ladd, Teolog Perjanjian Baru Jilid 2, Bandung: Kalam Hidup, 2002, hlm.31
                [26] Praduga pertama ini menganggap orang yang sudah mati sebagai roh yang tidak mempunyai tubuh, tetapi gagasan ini tidak terdapat dalam surat-suratnya.
              [27] Hal ini mengurangi nilai dari tubuh kebangkitan yang akan diterima pada saat parousia.  Tubuh pertama ini ditampung di sebuah tempat. Jika tubuh ini sudah memadai, maka tubuh kedua tidak perlu lagi.
                [28] Kebangkitan ini menjadi parsial, bukan total dalam temporalitas.
                [29] Meskipun dalam Alkitab Terjemahan Baru kita dipakai kata “meninggal, mati” untuk kata kaimomai.
          [30] Donald Guthrie, Op.Cit., hlm. 184-186. Jika hal ini benar maka gagasan tentang syeol (Yun. hades) sebagai tempat sementara tidak perlu dipersoalkan, atau justru ditolak. Jika dibandingkan dengan tanggapan Guthrie sendiri dalam konsep keadaan sementara menurut Injil Sinoptis (Ibid., hlm. 166), syeol atau dunia orang mati disebutkan tiga kali dalam kitab-kitab Injil Sinoptik (Mat. 11:23; 16:18; Luk. 16:23). Sebagaimana juga disebutkan Eugene H. Merrill PB juga mengadopsi konsep syeol seperti yang terdapat dalam PL dengan mengacu pada Luk. 16:23 (Eugene H. Merrill, Op.Cit., p. 888)

2 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. apakah kematian karena covid-19 berhungungan dengan kematian yang di maksudkan paulus?

    BalasHapus